Ocehan tentang Dua Garis Biru dari Kursi C7
Secara umum film ini cukup bagus dalam hal penyajian cerita serta pesan kepada penonton. Film ini pun sukses membuat mata saya berkaca-kaca beberapa kali. Bukan hanya lantaran adegan atau ceritanya yang menyentuh, tapi mendadak langsung teringat buah hati.
Beberapa karakter utama terlihat kuat. Kemampuan akting para pemainnya pun OK. Saya menghitung setidaknya ada 10 scene berat yang melibatkan lebih dari 3 pemain yang durasinya cukup lama, misalnya: adegan pertengkaran di salah satu ruang sekolah saat Dara beristirahat di ranjang. Ada 8 orang dalam adegan ini. Menurut saya ini adalah scene terberat (halah, macam gue aja yang jadi pemainnya).
Kredit khusus buat Cut Mini yang tampil memukau sebagai Ibunda Bima. Karakternya kuat dan menjiwai perannya sebagai emak-emak kampung urban. Kalau Dwi Sasono, ya sudahlah. Dia jadi pesaing kuat nama pertama untuk nominasi Pemeran Pembantu Terbaik (seandainya hanya dibuat satu kategori tanpa pemisahan berdasarkan gender). Saya selalu suka lihat aktingnya. Kadang agak berlebihan, tapi saya suka.
Namun memang saya menilai konflik yang dibangun di antara para tokoh terasa kurang kental, bahkan solusinya pun terkesan hambar. Penonton malah lebih sering dibawa untuk menyaksikan beberapa adegan "kurang penting" yang mungkin niatnya adalah menggambarkan potret cerita atau nilai-nilai dari masing-masing keluarga, baik Dara maupun Bima.
Terakhir, bagi saya film ini bagus untuk ditonton para orang tua dan anaknya yang sudah remaja (sesuai dengan ketentuan usia penontonnya, yakni R13+). Demikian ocehan saya tentang film Dua Garis Biru yang warna tulisannya pink. Jadi langsung ingat salah satu dialog di film ini, "Kalau garisnya pink artinya anaknya perempuan, ya?".
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar