Tugas Berat Moderator Debat Capres-Cawapres
Pasca acara Debat Pertama Capres-Cawapres 2019 pekan lalu, hingga kini masih banyak tanggapan dan analisis warganet yang berseliweran di lini masa media sosial. Tanggapan dan analisis, mulai dari yang kelas receh hingga kakap, banyak ditujukan terhadap penampilan para kontestan. Namun tak sedikit pula yang merespon sosok moderator dalam gelaran itu. Sebagian besar hanya berkomentar seru terhadap sosoknya, namun sedikit yang membahas kinerjanya.
Tugas utama moderator dalam sebuah diskusi selain tentunya memandu acara, ia pun harus bisa membuat jalannya diskusi menjadi greget. Jadi seru dan menarik. Terlebih acara yang dipandu adalah sebuah Debat Capres-Cawapres yang siklus kemunculannya hanya lima tahun sekali. Ini acara level nasional syarat tensi tinggi. Tensi tinggi di arena debat serta di luar. Menjadi tugas moderator kemudian untuk bisa mengatur irama tensi acara. Namun akhirnya kesan tegang dan monoton yang jadinya justru kita lihat hinggap di diri para moderator.
Jauh sebelum gelaran debat ini, publik jelas banyak berharap agar moderator mampu membuat jalannya debat menjadi menarik. Namun saat acara berjalan hingga usai, peran moderator justru terkesan kurang menonjol. Ada namun tiada. Moderator lebih banyak menjalankan fungsi sebagai fasilitator acara. Kerap penonton pun disuguhkan peran lain moderator sebagai “Time Keeper”. “Waktunya habis, pak!” atau “Tidak, tidak boleh (melanjutkan), pak”.
Situasi ini tentu tidak lepas dari pola dan format acara debat yang dijalankan. Bisa jadi kreativitas para moderator “terbelenggu” oleh rambu-rambu aturan yang memang sudah disepakati. Meski sudah terlihat berbagai upaya dari mereka untuk mengingatkan serta “memancing” para kontestan debat untuk benar-benar berdebat satu sama lain, nyatanya para kontestan tetap “aman”. Jelas, para kontestan berlindung dalam aturan debat yang ada. Tugas moderator debat ini jadi relatif berat. Siapa pun moderatornya, rapor jalannya acara akan tetap sama. Membosankan.
Jika acaranya berlabel “debat”, sejatinya memang gelanggangnya harus dirancang untuk saling debat. Perlu formulasi lebih jitu dari pihak terkait agar debat berikutnya bisa seru. Moderator perlu diberi otoritas lebih serta ruang lebih luas. Walau akhirnya peran moderator menjadi penuh resiko. Beresiko karena potensi kritik serta protes dari banyak pihak menganga lebih besar. Jika ada kesan intervensi terhadap pendapat salah satu kandidat atau dianggap kurang netral, moderator akan jadi sasaran tembak suporter Paslon.
Tapi itu jauh lebih baik karena memang begitulah tugas moderator. Lebih baik menjadi “public enemy” tapi menjalankan tugas dengan baik ketimbang berusaha menyenangkan semua orang. “Kalau Anda ingin menyenangkan semua orang, jangan jadi moderator, juallah es krim”. Demikian kutipan terkenal milik Steve Jobs yang saya gubah sedikit.
Keterangan foto: anggap saja lagi sok serius baca status/komen lucu netijen terkait acara Debat Pilpres-Cawapres.
#DebatCapresCawapres2019
#Moderator
#PublicSpeaking
Pasca acara Debat Pertama Capres-Cawapres 2019 pekan lalu, hingga kini masih banyak tanggapan dan analisis warganet yang berseliweran di lini masa media sosial. Tanggapan dan analisis, mulai dari yang kelas receh hingga kakap, banyak ditujukan terhadap penampilan para kontestan. Namun tak sedikit pula yang merespon sosok moderator dalam gelaran itu. Sebagian besar hanya berkomentar seru terhadap sosoknya, namun sedikit yang membahas kinerjanya.
Tugas utama moderator dalam sebuah diskusi selain tentunya memandu acara, ia pun harus bisa membuat jalannya diskusi menjadi greget. Jadi seru dan menarik. Terlebih acara yang dipandu adalah sebuah Debat Capres-Cawapres yang siklus kemunculannya hanya lima tahun sekali. Ini acara level nasional syarat tensi tinggi. Tensi tinggi di arena debat serta di luar. Menjadi tugas moderator kemudian untuk bisa mengatur irama tensi acara. Namun akhirnya kesan tegang dan monoton yang jadinya justru kita lihat hinggap di diri para moderator.
Jauh sebelum gelaran debat ini, publik jelas banyak berharap agar moderator mampu membuat jalannya debat menjadi menarik. Namun saat acara berjalan hingga usai, peran moderator justru terkesan kurang menonjol. Ada namun tiada. Moderator lebih banyak menjalankan fungsi sebagai fasilitator acara. Kerap penonton pun disuguhkan peran lain moderator sebagai “Time Keeper”. “Waktunya habis, pak!” atau “Tidak, tidak boleh (melanjutkan), pak”.
Situasi ini tentu tidak lepas dari pola dan format acara debat yang dijalankan. Bisa jadi kreativitas para moderator “terbelenggu” oleh rambu-rambu aturan yang memang sudah disepakati. Meski sudah terlihat berbagai upaya dari mereka untuk mengingatkan serta “memancing” para kontestan debat untuk benar-benar berdebat satu sama lain, nyatanya para kontestan tetap “aman”. Jelas, para kontestan berlindung dalam aturan debat yang ada. Tugas moderator debat ini jadi relatif berat. Siapa pun moderatornya, rapor jalannya acara akan tetap sama. Membosankan.
Jika acaranya berlabel “debat”, sejatinya memang gelanggangnya harus dirancang untuk saling debat. Perlu formulasi lebih jitu dari pihak terkait agar debat berikutnya bisa seru. Moderator perlu diberi otoritas lebih serta ruang lebih luas. Walau akhirnya peran moderator menjadi penuh resiko. Beresiko karena potensi kritik serta protes dari banyak pihak menganga lebih besar. Jika ada kesan intervensi terhadap pendapat salah satu kandidat atau dianggap kurang netral, moderator akan jadi sasaran tembak suporter Paslon.
Tapi itu jauh lebih baik karena memang begitulah tugas moderator. Lebih baik menjadi “public enemy” tapi menjalankan tugas dengan baik ketimbang berusaha menyenangkan semua orang. “Kalau Anda ingin menyenangkan semua orang, jangan jadi moderator, juallah es krim”. Demikian kutipan terkenal milik Steve Jobs yang saya gubah sedikit.
Keterangan foto: anggap saja lagi sok serius baca status/komen lucu netijen terkait acara Debat Pilpres-Cawapres.
#DebatCapresCawapres2019
#Moderator
#PublicSpeaking
Tidak ada komentar:
Posting Komentar