Selasa, 09 Juni 2009

Berita Pilpres yang Over Exposed

Berita Pilpres yang Over Exposed

Tiada hari tanpa berita politik, baik di media cetak maupun elektronik komersil. Belum lagi jika bicara media bebas, seperti poster, baliho, spanduk,dan lain-lainnya. Porsi pemberitaan pemilihan presiden (pilpres) yang sudah memasuki masa kampanye cenderung makin luas, sering dan kuat. Nyaris tidak ada ruang yang luput dari gempuran berita politik seputar pilpres. Setiap saat, publik dimanjakan dan didominasi oleh kisah-kisah pertarungan politik ini.

Kandungan positif yang bisa diambil dari gejala ini adalah perminataan masyarakat akan berita politik sudah jelas terpenuhi lebih dari memadai. Suplai yang diberikan oleh pelaku politik dan media bisa diartikan sebagai ‘melek’ terhadap soal politik yang memiliki makna beragam. Terlepas dari yang diberitakan adalah objektif atau tidak, menghasut atau tidak, berita politik sudah kadung menjadi primodona utama menggeser berita lainnya. Berita politik tak ubahnya ibarat sinetron yang sayang untuk dilewatkan barang satu episode saja.

Tren ini diprediksi akan terus berlangsung hingga mencapai puncaknya saat presiden terpilih mengumumkan kabinetnya. Suhu politik yang sudah pasti meningkat tentunya beresiko pada tingginya intensitas pemberitaan politik itu pula. Faktornya banyak; carut-marut kerja KPU, persaingan ketat antar kandidat, potensi kecurangan yang besar, dan lain-lain. Kondisi inilah yang jauh-jauh hari sudah dikhawatirkan oleh publik. Setelah melewati tahap pemilihan legislatif yang kacau saja, publik sebenarnya sudah jenuh akan berita politik yang over exposed.

Dampak yang lahir dari over exposed-nya sebuah berita adalah kejenuhan audiens. Level yang terburuk dari kejenuhan adalah muak. Di titik inilah, publik menginginkan alternatif pemberitaan yang lain, pokoknya selain politik. Selain permintaan, yang bisa dilakukan adalah menyaring atau paling tidak meminimalisir bersinggungan dengan berita politik. Menolak dan menghindar sama saja dengan menahan air bah. Permintaan akan berita selain politik bukan berarti tidak sadar politik. Justru karena sudah sadar politik maka pilihan .

Publik, kelas menengah ke atas khususnya, sudah demikian cerdas dalam melihat realita politik yang ada. Sikap apatis publik tidak selalu diartikan sebagai buta politik. Apatis bisa jadi ada sebagai akibat dari kondisi yang semakin buruk saja. Semuanya menawarkan perubahan tapi secara tidak langsung mengatakan sebenarnya tidak ada yang berubah. Ya, menginginkan kekuasaan dangan kedok membela rakyat kecil. Ini realita.

Tidak ada komentar:

Arsip Blog