Karyawan Yang Sukanya Mengeluh
Sering saya menjemput istri saya ke kantornya. Biasanya sambil menunggu istri keluar dari kantor, saya sering duduk santai di sebuah sofa empuk di lobi. Di depan saya terdapat meja resepsionis yang ditunggui oleh seorang laki-laki tua yang biasa mendapat giliran jaga malam. Jika sedang tidak ada kegiatan, saya selalu menghampiri atau paling tidak mengajak ngobrol berbagai hal yang bisa buat ngobrol bareng.
Niat saya mengobrol sebenarnya hanya ingin ‘membunuh waktu’ saja. Bukan sebagai teman ngobrol yang baik, apalagi sampai menjadi teman curhat gratisan. Namun sering obrolan kami terseret oleh pembicaraan seputar kantor. Singkat kata, sang bapak sering mengeluh mengenai kondisi kantor yang menurutnya tidak adil.
Seperti anak kecil saja, ia pernah mengeluh karena sudah lama kantornya tidak melakukan acara rekreasi bersama (outing). Sambil memuji beberapa nama bos di masa lalu, ia juga mengkritik kebijakan perusahaan yang hanya membolehkan acara rekreasi dilakukan oleh masing-masing departemen. Sementara departemennya sendiri tidak pernah lagi melakukan outing. Saya hanya tersenyum-senyum saja.
Pernah juga ia mengeluhkan uang THR (Tunjangan Hari Raya) yang belum juga dibagikan oleh perusahaan padahal di kalender sudah menunjukkan tanggal 20 Ramadhan. Menurutnya, seharusnya THR dibagikan 2 minggu sebelum lebaran. Alasannya, orang jadi sudah bisa siap-siap untuk belanja dan tidak terburu-buru. ‘Di tempat lain kok bisa?’ katanya agak sewot. Untuk memperkuat argumennya, ia juga bilang bahwa bagian tertentu di kantor sudah ‘teriak-teriak’ minta THR.
Setelah saya konfirm ke istri saya, memang idealnya THR dibagikan H-14, namun karena ada masalah teknis jadinya agak terlambat. Lagipula, kok segitu urgent-nya yach buat lebaran aja, dalam hati saya. Belakangan THR dibagikan H-7.
Masih banyak lagi keluhan mengenai kantor sang bapak yang dicurahkan kepada saya. Kadang saya berpikir, kenapa bapak ini bicara begitu lepas kepada saya yang notabene-nya adalah orang luar? Dengan begitu sebenarnya ia telah menceritakan keburukan (paling tidak menurutnya) kantornya kepada orang di luar kantornya. Padahal, sebagai receptionist, seharusnya ia menjaga dengan benar kredibilitas kantornya di mata orang lain.
Yang lebih parah lagi, dengan mengeluh dan terlebih menjelek-jelekkan kantornya, seharusnya ia malu pada dirinya sendiri. Meski tidak puas terhadap kantornya, buktinya ia tetap bekerja di sana. Kantor yang menurutnya bobrok, ternyata masih tetap menjadi sumber mata pencahariannya. Nah, sekarang siapa yang bodoh?
Filofosinya sederhana. Selama masih bekerja buat orang lain atau di sebuah perusahaan, orang harus siap dengan yang namanya kondisi tidak puas. Tidak puas itu wajar, namun jika kondisi tidak puas itu ditanggapi dengan santai dan positif, lalu diarahkan dengan benar, sebenarnya tidak ada masalah.
Yang menjadi persoalan adalah jika sudah tidak puas, lalu bisanya hanya mengeluh,mengkritik dan berkoar-koar. Tidak bisa memberikan input positif apalagi jalan keluar. Langkah ekstrim yang harus dilakukan oleh orang yang tahu malu sebenarnya cuma satu, yaitu berhenti. Itu jauh lebih baik ketimbang terus memperolok kantornya tapi masih cari makan di sana alias tidak berani keluar.
Kalau mau selalu puas, silahkan buka usaha sendiri. Puas jika hasilnya berlimpah, lelah tapi menyenangkan, rugi besar dan lain sebagainya. Karena semua yang dilakukan karena kehendak sendiri. Selama masih menjadi karyawan, kepuasan yang didapat dibanding dengan usaha sendiri tidak ada apa-apanya.
Kembali ke bapak tadi, karena saya tidak mau jadi teman curhat gratisan, makanya saya hanya senyam-senyum saja. Sambil terus berguman,’Pak, sadar pak. Sadar’…
1 komentar:
saya memberikan anda 1 free ticket untuk seminar leadership, jika anda ingin datang silahkan registrasi, jika tidak teruskan pesan ini , silahkan liat pesan asli di blog : arylangga.blogspot.com
Posting Komentar