Jalan-Jalan ke Dufan 2008
Akhir pekan lalu saya bersama keluarga berekreasi ke Dunia Fantasi (Dufan). Ini adalah kunjungan pertama sejak 12 tahun terakhir ke Walt Disney-nya Indonesia. Terakhir saya main ke pusat mainan spektakuler kita ini pada tahun 1996. Kami masuk ke arena Dufan sejak pukul 11.05 WIB, artinya sejak pintu Dufan dibuka untuk umum, kami sudah datang. Pengunjung yang datang juga bisa dibilang banyak. Baik yang datang secara rombongan maupun sendiri-sendiri.
Secara prinsip tidak banyak yang berubah pada penampilan Dufan dibanding dengan beberapa tahun silam. Lagu wajib Dufan masih tetap yang itu dan badut-badutnya pun tidak berubah. . Ada penambahan beberapa wahana yang memang sudah harus ada di jaman ini. Extreme Log dan Tornado, yang menggunakan teknologi abad 21, adalah primadona baru Dufan. Terlihat pula ada satu wahana yang tampaknya akan menjadi wahana andalan dan kini sedang dalam tahap pembangunan.
Sementara wahana lainnya tetap saja dipertahankan. Mulai dari yang bisa dinikmati anak saya yang berumur 17 bulan seperti; Turangga-Ranga, Gajah Beleduk, Burung Tempur, dan Bianglala. Juga masih berdiri dengan kokohnya Kora-kora, Ontang-Anting, Alap-alap, Halilintar, Bumper Car, Niagara, Arung Jeram, dan lain sebagainya. Kami juga mencoba Bola Gelo, semacam bola bening raksasa di atas air dimana kita bisa berada di dalamnya, yang baru ada di Dufan sejak Juli tahun ini. Total wahana yang kami coba sekitar 12 buah.
Kesan-kesan yang kami rasakan adalah senang dan lelah. Di bawah panas terik matahari khas musim Pancaroba, yang sering kami lalukan adalah mencari tempat berteduh serta minum air. Antrian yang panjang kami rasakan saat ingin mencoba Niagara dan Arung Jeram.
Kami pun akhirnya secara tidak sengaja mengamati pemandangan fisik wahana-wahana di Dufan. Dengan tiket masuk yang dibandrol 100 ribu rupiah per orang, kesan Dufan sebagai rekreasi untuk kalangan menengah ke atas sudah kurang tepat. Bagi saya, hal ini relevan jika dilihat dari kondisi Dufan saat ini.
Tidak bisa dikatakan tidak terawat, namun yang pasti kondisi beberapa wahana tertentu terlihat sudah tua. Jika melihat keadaan wahana dan fasilitas lainnya, saya tidak percaya jika Dufan dikelola oleh swasta. Biasanya kondisi yang konotasinya kurang baik hanya bisa dijumpai di sarana milik pemerintah. Belum lagi banyak coretan tangan-tangan jahil yang ada di sudut-sudut wahana. Sampah yang berserakan di sana-sini. SDM Dufan yang terkesan kurang profesional dan hiburan yang disajikan seperti band dan aneka atraksi pun tidak menunjukkan gengsi Dufan yang bergelar dream land Indonesia.
Sikap pengunjung juga sering membuat kami geleng-geleng kepala. Mungkin karena begitu senangnya, hingga kadang-kadang yang diperlihatkan oleh pengunjung tertentu adalah kesan jauh dari tertib. Berbagai tingkah polah pengunjung pun kami lihat dan rasakan. Mulai dari orang yang merokok dengan santainya di tengah-tengah antrian (petugas Dufan pun ada yang merokok saat sedang tugas), anak-anak yang menyerobot antrian, ibu-ibu yang sewot karena antrian yang bergerak lambat dan lain sebagainya.
Kami keluar dari Dufan pukul 7 malam, satu jam sebelum resmi ditutup. Berbagai cerita saling kami tumpahkan selama dalam perjalanan hingga sebelum tidur. Puas rasanya sudah menghabiskan hari di sana bersama keluarga. Apapun hiburannya, jika keluarga senang, saya pastinya juga senang.
Tips dari saya: Memang paling enak kalau ke sana hari kerja alias hari biasa. Soalnya ramai sekali jika ke Dufan akhir pekan. Kalau weekday pasti sepi dan lebih puas. Tapi yang pasti ongkosnya lebih mahal. Bukan harga tiketnya yang mahal tapi itu adalah harus cuti atau bolos dari kantor serta anak yang tidak masuk sekolah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar