Harus Lebih Dari Sekadar Pesta Hiburan
-Sebuah catatan terhadap kompetisi sepakbola nasional-
-Sebuah catatan terhadap kompetisi sepakbola nasional-
Pekan ini banyak media yang mengulas dan menanggapi keputusan PSSI yang meniadakan degradasi di semua level kompetisi yang sedang berputar. Reaksi positif dan negatif pun datang akibat dari keputusan itu. Saya berpendapat negatif terhadap keputusan ajaib ala PSSI itu. Ya, yang terlintas dalam benak saya adalah sepakbola Indonesia kembali melahirkan keajaiban. Betapa tidak? Dalam sebuah kompetisi yang sedang berputar, kok bisa-bisanya otoritas sepakbola mengambil keputusan untuk meniadakan degradasi.
Sebelumnya kita semua tahu bahwa Liga Indonesia (musim 2007 bernama Liga Djarum Indonesia-LDI) adalah kompetisi divisi utama terbesar di dunia. Dengan total jumlah peserta 36 klub yang dibagi menjadi dua wilayah dengan masing-masing wilayah 18 klub. Itu sebuah keajaiban tersendiri.
Hakekatnya yang dinamakan sebuah kompetisi adalah persaingan (yang sehat dan baik tentunya) untuk menjadi yang terbaik. Yang terbaik pastinya harus diberikan imbalan (reward) sebagai penghargaan sekaligus motivasi bagi yang lain agar bisa menjadi yang terbaik pula. Bagi yang kalah akan mendapat hukuman (punishment). Tujuannya kurang lebih sama, agar bisa termotivasi untuk bangkit di lain waktu.
Kompetisi sepakbola pun mengenal sistem degradasi (promosi-degradasi). Ide dasar penerapan sistem ini agar kompetisi punya greget dan seru. Bayangkan jika sebuah kompetisi level teratas hanya memberlakukan sistem promosi atau reward? Klub-klub yang berpotensi tersisih dari papan divisi tersebut akan santai-santai saja. Tidak ada lagi yang harus diperjuangkan karena mereka tetap akan bertahan di sana.
Kompetisi masih sebatas pesta
Sudah banyak pihak yang menganalisis penyebab ditetapkannya keputusan itu. Disinyalir keputusan itu sarat dengan muatan politis. Saya tidak ingin terlalu masuk ke dalam wilayah yang terlalu banyak kepentingan bermain.
Saya hanya ingin memberikan pandangan bahwa keputusan dihapuskannya degradasi oleh PSSI adalah karena memang sepakbola Indonesia (dalam hal ini kompetisi yang digulirkan) masih sebatas pesta hiburan sepakbola rakyat saja. Iya, pesta hiburan sepakbola. Pesta meriah dari Sabang sampai Merauke yang hingar bingar dengan banjir sponsor serta tidak ketinggalan penonton dan juga suporter yang fanatis.
Jelas dengan adanya kompetisi berapa banyak rakyat Indonesia yang mendapatkan rezeki. Mulai dari pedagang asongan, petugas kebersihan dan keamanan, pelatih, official dan tentunya pemain yang bergaji puluhan juta rupiah. Belum lagi pihak-pihak seperti agen pemain, pengurus PSSI, pengurus klub dan masih banyak lagi. Mereka semua, termasuk saya, adalah bagian besar yang bisa mencicipi “kue” pesta kompetisi ini. Sudah demikian lama kita larut dalam pesta itu. Tapi ya hanya baru sebatas itu saja.
Kita belum mampu untuk menghadirkan kompetisi sepakbola lebih dari sekedar sebuah pesta. Kompetisi yang tetap dapat menghidangkan “kue” bagi rakyat dan juga hiburan bagi semua pihak yang menghadiri pesta itu. Namun lebih daripada itu, kompetisi pun bisa memberikan kepercayaan kepada kita semua bahwa sepakbola Indonesia memang berkualitas dan punya bobot.
Bobot kompetisi bermuara dari profesionalisme, penegakan aturan yang tegas dan tentunya organisasi kompetisi yang baik dan teratur (well organized). Bicara soal kompetisi yang teratur, mekanisme promosi-degradasi menjadi suatu keharusan. Akhirnya sebuah kompetisi pun bisa diukur dari competitive value serta selling point yang dimilikinya. Sebuah pesta yang berbobot dan layak dihadiri.
Wajah kompetisi adalah cermin dari otoritas sepakbola yang bersangkutan. Semakin sehat dan tertibnya otoritas sepakbola maka bisa dipastikan kompetisi yang dijalankan akan sehat pula. Kompetisi dimana semua pihak yang terlibat memiliki kepastian bagaimana kompetisi berjalan.
Hal yang tidak kalah penting adalah independensi otoritas sepakbola pun mutlak ada. Hal ini untuk menjamin ketegasan dan steril-nya badan sepakbola nasional dari kepetingan-kepentingan politis yang sangat rentan terjadi di negara yang punya kultur KKN kental ini.
Hal yang tidak kalah penting adalah independensi otoritas sepakbola pun mutlak ada. Hal ini untuk menjamin ketegasan dan steril-nya badan sepakbola nasional dari kepetingan-kepentingan politis yang sangat rentan terjadi di negara yang punya kultur KKN kental ini.
Benar mekanisme degradasi musim ini ditiadakan. Kita pun bisa melihat citra sepakbola nasional justru yang (semakin) mengalami degradasi. Jangan heran jika sepakbola Indonesia penuh dengan ketidakpastian.
Namun kita masih bisa berharap agar bila pun terjadi pergantian kepemimpinan di PSSI nantinya, yang mutlak harus dilakukan pergantian kultur dan visi sepakbola nasional. Jangan sampai dengan semakin berkembangnya jaman dan meningkatnya prestasi negara lain, kita hanya bisa menggelar pesta hiburan sepakbola.
1 komentar:
Untuk menjadikan sepakbola sebagai sebuah indsutri, bukankah harus dimulai dari pengurus yang profesional?
Ketua nya aja di penjara.. mana mau profesional.. maka jangan heran kalau keputusan 'nyeleneh' keluar dari PSSI... :)
sekedar iseng komentar
www.fico-maulana@blogspot.com
Posting Komentar