Mengikis Stigma HIV AIDS pada Masyarakat Kita
Apa yang anda pikirkan dan rasakan saat ada orang lain, yang tidak ada hubungan apa-apa dengan anda, mengidap HIV AIDS? Lalu, bagaimana juga jika ternyata orang terdekat anda atau bahkan anda sendiri yang berurusan dengan penyakit ini?
Jika itu adalah orang lain yang tidak ada hubungan apa pun dengan anda, bisa jadi anda tidak begitu peduli atau paling tidak sejenak menaruh simpati, kemudian segera melupakannya. Namun untuk acuh tak acuh kemungkinannya sangat kecil, untuk pertanyaan yang kedua. Saya bisa katakan semua itu setelah saya mendengar curahan hati sahabat saya yang pernah berada pada dua situasi yang berbeda untuk dua pertanyaan di atas.
Sahabat saya tidak memiliki perasaan apa-apa ketika membaca, mendengar atau mengamati berita, angka-angka statistik, cerita orang lain seputar HIV AIDS. Semuanya terasa ‘jauh’ dan tidak ‘membumi’ buat dia. Jujur dia akui, dia tidak memiliki kedekatan dan kepedulian dengan isu penting yang sudah mendunia ini. Dia pun merasa tidak perlu dan ingin ‘berdekatan’dengan isu ini.
Pemikiran dan perasaan sahabat saya soal HIV AIDS berubah drastis ketika saudara kandungnya divonis positif HIV AIDS. Langit seperti runtuh dan semuanya menjadi gelap, saat dia mendengar kabar ini langsung dari dokter. Beserta ibunya, dia benar-benar terpukul. Vonis terjangkit HIV AIDS seolah ‘hukuman mati’ buat adiknya.
Yang lebih down pastinya adalah yang bersangkutan. Demikian dahsyatnya stigma HIV AIDS, baik secara instrumental, simbolis maupun kesopanan, di masyarakat kita, membuat adiknya ketakutan, tidak memiliki semangat dan harapan, serta hanya bisa berserah kepada Tuhan. Hingga akhir hayatnya, almarhum hanya menghabiskan waktu di kamar. Tidak berani berbaur dengan masyarakat yang bisa jadi “tidak mau menerimanya”.
Cara memandang adik sahabat saya terhadap stigma HIV AIDS adalah cermin dari bagaimana masyarakat kita memandang hal ini pada umumnya. Berada dalam posisi manapun, baik sebagai atau bukan penderita HIV AIDS, sahabat saya, adiknya dan keluarganya sudah terjebak dalam stigma HIV AIDS yang masih kuat bagi khalayak.
Kejadian dan pengalaman berharga ini rupanya membuat mata dan pikiran sahabat saya terbuka lebar. Dia aktif mengumpulkan informasi dengan bertanya, membaca buku, serta browsing di internet. Ia berkesimpulan bahwa ada sebuah persepsi yang masih salah kaprah di tengah masyarakat kita. Masyarakat kita masih melihat dan menilai bahwa HIV AIDS adalah penyakit yang sangat berbahaya, kutukan, mematikan, mudah tersebar, kotor dan lain sebagainya. Stigma (dan bisa jadi ‘mitos’) HIV AIDS ciptaan mereka sendiri, akhirnya membuat mereka terus larut dalam ketakutan.
Padahal dasar dari ketakutan mereka adalah karena ketidaktahuan atau setidaknya pengetahuan yang minim dari mereka sendiri akan HIV AIDS. Bisa jadi lantaran saat isu HIV AIDS muncul pertama kali di Indonesia, penekanan yang diberikan oleh media adalah embel-embel negatif perilaku menyimpang orang-orang tertentu sebagai sebab munculnya penyakit ini. Mulai dari perilaku seks menyimpang, hubungan sesama jenis, pola hidup tidak sehat, narkoba melalui suntikan dan masih banyak lagi. Informasi yang menyebutkan bahwa HIV AIDS tidak bisa disembuhkan membuat label buruk penyakit ini makin terang-benderang.
Padahal jika kita secara cermat menggali informasi yang benar, maka semuanya akan jelas. Dari cara penularannya, ruang HIV AIDS untuk tertular relatif lebih sempit jika kita bandingkan dengan Tuberkulosis (TB), misalnya.
Seperti diketahui bersama, HIV AIDS pada umumnya ditularkan melalui kontak fisik lapisan kulit dalam (membran mukosa) atau aliran darah, dengan cairan tubuh yang mengandung HIV, seperti darah, air mani, cairan vagina, cairan preseminal, dan air susu ibu. Penularan dapat terjadi melalui hubungan intim (vaginal, anal, ataupun oral), transfusi darah, jarum suntik yang terkontaminasi, antara ibu dan bayi selama kehamilan, bersalin, atau menyusui, serta bentuk kontak lainnya dengan cairan-cairan tubuh tersebut.
Sementara untuk TB, penularan bisa terjadi meski kita ‘hanya saling bicara dalam jarak yang relatif dekat dengan penderita TB! Pertanyaannya kemudian, apakah hal ini menjadi perhatian masyarakat? Apakah stigma TB lebih kuat daripada HIV AIDS? TB dianggap sebagai ‘penyakit biasa’ dalam masyarakat. Tidak demikian halnya dengan HIV AIDS yang sudah punya citra buruk sejak awal kemunculannya.
Satu hal yang menjadi sangat penting bagi saya berdasarkan cerita sahabat saya, institusi keagamaan diharapkan punya peran vital. Hal ini didasarkan atas pengalaman bahwa oknum keagamaan sekalipun bisa salah dalam melihat realita ini. Kurangnya informasi dan pemahaman terhadap HIV AIDS membuat oknum agama yang bersangkutan terseret dalam arus besar stigma HIV AIDS. Padahal seharusnya tokoh agama yang merepresentasikan nilai-nilai luhur agama, bisa menjadi mediator sekaligus agen perubahan anti stigma HIV AIDS.
Suka atau tidak suka, diakui atau tidak diakui, sebagian besar masyarakat kita masih memandang institusi agama sebagai lembaga panutan dalam masyarakat memandang berbagai hal. Perlu pendekatan kepada para ulama agama untuk bisa ikut mengikis stigma dan diskriminasi HIV AIDS. Peran tokoh dan istitusi agama bisa secara aktif dalam pembentukan opini yang positif kepada umat beragama akan isu ini.
Stigma berarti sebuah hukuman sosial. Untuk itu mutlak dilakukan rekonstruksi total dari persepsi masyarakat sebagai hulu dari munculnya stigma HIV AIDS. Kampanye positif berkaitan dengan HIV AIDS harus semakin digiatkan, secara kualitas maupun kuantitas. Secara kualitas artinya dipastikan pemahaman lebih dalam dan luas mengenai penyakit HIV AIDS ini. Sisi kuantitas lebih menekankan pada intensitas dan cakupan penyebaran informasi kepada masyarakat.
Pada akhirnya, usaha menghapus stigma HIV AIDS bukan menajdi tanggung jawab pemerintah semata. Semua unsur masyarakat dituntut memiliki kepedulian terhadap hal ini. Seperti yang saya ungkapkan di atas, mungkin saja saat ini kita tidak punya hubungan dan masalah dengan HIV AIDS. Tapi ketika mau tidak mau kita harus menghadapinya, pastinya kesadaran itu baru akan muncul.
Siapa saja bisa terkena HIV AIDS, termasuk kita. Satu hal yang perlu menjadi renungan buat kita semua adalah bagaimana kita menumbuhkan rasa simpati kepada mereka yang terkena virus HIV AIDS. Posisikan diri kita berada di sisi mereka. Harus menjadi keyakinan kita semua bahwa pastinya tidak ada yang ingin terjangkit penyakit ini. Terlebih jika mereka yang hidup dengan HIV AIDS bukan karena hasil dari perbuatan negatifnya sendiri, melainkan lantaran situasi yang memungkinkan posisi mereka yang hanya sebagai ‘obyek penularan’.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar