Tulisan yang mempertanyakan kreativitas musik Indonesia termuat jelas di halam muka Harian Kompas, edisi Minggu, 3 Mei 2009. “Sang terdakwa” untuk kali ini adalah band anak muda yang sedang digandrungi oleh para ABG, D’Masiv. Meski dianggap plagiat, masuk nominasi pula dalam kategori Pendatang Baru Terbaik-Terbaik AMI ke-12 tahun ini. Penjualan kaset, CD dan juga nada sambung pribadi pun melambung tinggi.
Seperti mengulang kejadian yang sama di masa lalu terhadap musisi-musisi lokal lainnya, para kritikus musik mempertanyakan orisinalitas karya D’Masiv yang mirip dengan band luar negeri, seperti; Muse, Switcfoot, dan Incubus. Grup lain, The Changcuters lewat single “I Love U, Bibeh” pun dituduh meniru lagu luar negeri milik CCR, “Have You Ever Seen The Rain?”. Soal The Changcuters ini ditegaskan oleh salah satu personel band GIGI, Dewa Budjana. Padahal kalau saya mendengar lagu GIGI yang “11 Januari”, ada satu bagian yang mirip sama “One More Night”-nya Phil Collins. Kok Bisa?
Pertanyaan Harian Kompas kemudian adalah apa yang sebenarnya terjadi pada industri musik Indonesia saat ini?
Soal plagiat alias meniru yang diplintir oleh musisi bersangkutan sebagai bentuk hasil inspirasi mereka adalah hal basi yang biasa kita dengar. Ada yang sportif, tapi ada juga yang tidak mau mengakui kalau musiknya hasil jiplakan. Ada yang menuduh musisi lain menjiplak, sementara karya-karyanya sendiri tidak steril dari unsur jiplakan lagu Barat yang popular maupun sangat asing di telinga kita.
Ari Lasso pernah berpendapat soal orisinalitas. Sulit memang untuk tidak orisinil karena musik pop asalnya dari sana (maksudnya Barat), katanya. Ahmad Dani lebih tegas lagi soal ini. Terlepas dari sosoknya yang kontroversial, dia mengatakan bahwa musik kita (dalam kerangka industri musik pop) tidak ada yang orisinil. Semuanya hasil jiplak sana-sini lalu diolah sedemikian rupa sehingga menjadi musik baru. Musik ini dikatakannya sebagai musik gado-gado. Artinya, musik yang beredar di pasaran domestik adalah musik gado-gado.
Musik gado-gado itulah yang diusung pula oleh D’Masiv dan The Changcuters. Apa yang terjadi pada D’Masiv dan The Changcuters, bisa jadi bukan yang terakhir. Musik mereka ternyata laku keras dan diterima oleh pasar kita, dengan segala latar belakangnya. Harus diakui, pendengar kita secara kebanyakan tidak mempedulikan sisi orisinalitas sebuah karya. Asal enak, gaya penyanyinya asyik dan bisa jadi trend, pasar kita pasti menikmatinya.
Untuk membendungnya tidak ada pilihan lain selain meminimalkan pengaruh kuat dalam pembentukan musik gado-gado ini. Musisi dituntut untuk berkarya lebih orisinil dan mengurangi kadar bahan-bahan pembentuk musik gado-gado itu. Sementara buat para produser dan pihak label, tidak melulu mengedepankan sisi komersil sebuah karya yang sudah “terkontaminasi” dan tidak terus mengikuti kehendak pasar.
Sulit memang merubah kultur yang sudah mengakar kuat, tapi bukan tidak mungkin. Sambil menunggu, kita nikmati saja yang ada dulu. Ya, menikmati musik gado-gado lokal kita.
Seperti mengulang kejadian yang sama di masa lalu terhadap musisi-musisi lokal lainnya, para kritikus musik mempertanyakan orisinalitas karya D’Masiv yang mirip dengan band luar negeri, seperti; Muse, Switcfoot, dan Incubus. Grup lain, The Changcuters lewat single “I Love U, Bibeh” pun dituduh meniru lagu luar negeri milik CCR, “Have You Ever Seen The Rain?”. Soal The Changcuters ini ditegaskan oleh salah satu personel band GIGI, Dewa Budjana. Padahal kalau saya mendengar lagu GIGI yang “11 Januari”, ada satu bagian yang mirip sama “One More Night”-nya Phil Collins. Kok Bisa?
Pertanyaan Harian Kompas kemudian adalah apa yang sebenarnya terjadi pada industri musik Indonesia saat ini?
Soal plagiat alias meniru yang diplintir oleh musisi bersangkutan sebagai bentuk hasil inspirasi mereka adalah hal basi yang biasa kita dengar. Ada yang sportif, tapi ada juga yang tidak mau mengakui kalau musiknya hasil jiplakan. Ada yang menuduh musisi lain menjiplak, sementara karya-karyanya sendiri tidak steril dari unsur jiplakan lagu Barat yang popular maupun sangat asing di telinga kita.
Ari Lasso pernah berpendapat soal orisinalitas. Sulit memang untuk tidak orisinil karena musik pop asalnya dari sana (maksudnya Barat), katanya. Ahmad Dani lebih tegas lagi soal ini. Terlepas dari sosoknya yang kontroversial, dia mengatakan bahwa musik kita (dalam kerangka industri musik pop) tidak ada yang orisinil. Semuanya hasil jiplak sana-sini lalu diolah sedemikian rupa sehingga menjadi musik baru. Musik ini dikatakannya sebagai musik gado-gado. Artinya, musik yang beredar di pasaran domestik adalah musik gado-gado.
Musik gado-gado itulah yang diusung pula oleh D’Masiv dan The Changcuters. Apa yang terjadi pada D’Masiv dan The Changcuters, bisa jadi bukan yang terakhir. Musik mereka ternyata laku keras dan diterima oleh pasar kita, dengan segala latar belakangnya. Harus diakui, pendengar kita secara kebanyakan tidak mempedulikan sisi orisinalitas sebuah karya. Asal enak, gaya penyanyinya asyik dan bisa jadi trend, pasar kita pasti menikmatinya.
Untuk membendungnya tidak ada pilihan lain selain meminimalkan pengaruh kuat dalam pembentukan musik gado-gado ini. Musisi dituntut untuk berkarya lebih orisinil dan mengurangi kadar bahan-bahan pembentuk musik gado-gado itu. Sementara buat para produser dan pihak label, tidak melulu mengedepankan sisi komersil sebuah karya yang sudah “terkontaminasi” dan tidak terus mengikuti kehendak pasar.
Sulit memang merubah kultur yang sudah mengakar kuat, tapi bukan tidak mungkin. Sambil menunggu, kita nikmati saja yang ada dulu. Ya, menikmati musik gado-gado lokal kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar