Dekat Dengan Kemewahan, Semakin Tidak Membumi
Pencitraan dari tokoh atau figur calon presiden (capres) ataupun calon wakil presiden (cawapres) semakin gencar dilakukan jelang pemilihan presiden Juli nanti. Masyarakat kita yang bercirikan melodramatik memang menjadi sasaran empuk untuk dibentuk rasa dan nalarnya demi kepentingan pembentukan opini tertentu. Apapun itu, kepentingan politik kekuasaan adalah biang keladi dari semua cara pencitraan yang ditempuh.
Namun ada sisi lain dari pencitraan berbagai tokoh yang penting untuk disimak. Sisi itu adalah kontradiksi dari nilai-nilai yang dikemas dengan kenyataan yang disuguhkan. Nilai sederhana dan merakyat yang ‘dijual’ tidak menyatu dengan perilaku mereka.
SBY Berbudi bilang berpihak pada rakyat, tapi dari cara deklarasinya saja tidak mencerminkan hal itu. Kemewahan, mengambil jarak dengan rakyat bawah dan kemasan penuh prestisius adalah kesan yang bisa kita tangkap. Banyak pihak yang tidak menanggapi inkonsistensi ini. Belum lagi, deklarasi pasangan yang dilakukan di lingkungan kampus berarti pencorengan netralitas kampus yang seharusnya steril dari kegiatan politik. Kita menjadi teringat bagaimana beberapa tahun silam, SBY mengadakan resepsi pernikahan ‘sederhana’ putranya di Istana Bogor. Apanya yang sederhana?
Kontradiksi juga terlihat saat deklarasi Mega-Pro minggu lalu. Acara dilakukan di tengah lautan sampah TPA Bantar Gebang, sebagai simbol kedekatan mereka dengan rakyat kecil. Tapi tetap saja. Simbol tinggalah simbol. Kesan mewah tidak bisa dilepaskan begitu saja. Mulai dari dekorasi, perlengkapan pendukung, hiburan dan pernak-pernik yang tentunya membutuhkan dana yang tidak sedikit. Maunya sederhana tapi tetap saja menghambur-hamburkan uang.
Di masa sulit kini, pamer kemewahan oleh para elit politik menjadi tidak pantas untuk disaksikan. Tidak ada sense of crisis yang seharusnya ditularkan dari tokoh-tokoh itu. Kesederhanaan hanya menjadi bahan jualan saja. Para elit secara tidak langsung tidak memberi teladan kepada rakyatnya. Bagaimana mereka nantinya saat berkuasa jika saat berniat berkuasa saja sudah seperti itu.
Konsep keserdahaan dan kerakyatan menjadi mengawang-awang jika menyaksikan semua dagelan itu. Rakyat hanya diajak menyaksikan sinetron short episode, tanpa benar-benar diajak memahami apa itu kesederhaan. Perilaku para elit politik yang kita lihat tidak sepenuhnya menginjak bumi. Malah semakin tidak membumi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar