Rabu, 13 Mei 2009

Berita Politik (memang) Sebagai Komoditi

Berita Politik (memang) Sebagai Komoditi

Jelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009, semakin bisa dirasakan dan diamati, bahwa berita politik menjadi santapan nomor satu bagi konsumen berita dan tentunya primadona bagi media, baik cetak maupun elektronik. Publik dihujani terus-menerus dengan berita politik.

Seperti tidak penat terhadap problema sehari-hari, orang memang tetap saja doyan ngerumpi soal perkembangan politik nasional yang katanya mulai memanas. Apalagi untuk lapisan masyarakat tertentu, ngobrol hal-hal yang berbau politik diangap punya sensasi tersendiri. Orang menjadi dianggap pintar, ngerti politik, gengsinya naik, kritis dan memiliki berbagai efek citra bagus lainnya.Mirip-mirip sama ngomong soal sepakbola lah.

Ada permintaan, pastinya ada penawaran. Dengan tipikal masyarakat yang seperti itu, media melihatnya sebagai pasar potensial untuk terus digarap. Semua bahan beritanya terus dipoles. Lewat penulisan judul yang fantastis (kadang berbau propaganda dan agitasi), pengemasan yang unik dan penuh bumbu, kecepatan penyajian berita yang aktual dan faktual, dan lain sebagainya.

Alasan normatif dibalik peran media membombardir publik dengan berita-berita politik adalah demi kejelasan dan kebutuhan khalayak akan perkembangan nasional yang ada. Aspek pencerdasan, transparansi dan pendewasaan bagi masyarakat juga menjadi alibi buat media giat memuat informasi dari jagat politik domestik. Media berperan dan bertanggung jawab sebagai salah satu agen demokrasi, idealnya.

Tapi perlu diingatkan juga bahwa kita jangan pula terlalu naïf melihat hal ini. Selain misi ideologis yang punya kepentingan ideologis tertentu, media yang indipenden tentunya punya kepentingan ekonomi. Media tetap saja sebuah mesin industri dari kepentingan modal,baik besar maupun kecil. Logika ekonomi secara sederhana pastinya mengharuskan media mengeruk profit sebanyak-banyaknya demi kelangsungan hajat hidup dari semua “warga industrinya”. Apapun harus dilakukan demi menaikkan oplag, rating dan citra media, seperti yang ditulis di paragraph ketiga tulisan ini. Mereka tetap butuh uang (banyak)!!

Jadi dapat dimaklumi, posisi media menjadi paradok jika dihadapkan pada situasi berada di tengah-tengah aspek normatif dan tuntutan pemenuhan kebutuhan ekonomi. Yang dilakukan oleh media yang kadang berlebihan, bisa saja menjadi dianggap ‘wajar’ karena alasan demi demokrasi. Padahal tetap saja, harus diakui secara sportif, motif ekonomi media lebih kental dari motif normatifnya.

Posisi konsumen berita hanya penerima (receiver) informasi yang bisa dibilang hiruk-pikuk. Namun perlu diingat, konsumen pun bisa jenuh karena berita yang over exposed. Konsumen berita juga bisa semakin cerdas untuk memilah dan menyaring berita yang kemasannya bagus tapi sebenarnya adalah hasil olah ulang. Bahkan mungkin bisa jadi adalah sampah. Tidak penting sama sekali!

Tidak ada komentar:

Arsip Blog