Minggu, 26 April 2009

Mahalnya Harga Fair Play

Mahalnya Harga Fair Play

Aksi tidak terpuji Buston Brown, striker Arema, yang menceplsokan bola fair play ke gawang Persija Jakarta di pertengahan babak kedua lanjutan pertandingan Indonesia Super League, di Stadion Kanjuruhan, beberapa saat lalu, bisa jadi akan terus diingat sebagai kenangan yang menyesakkan. Bahkan lebih pahit ketimbang kalah telak 0-6 dari Persipura di Jayapura pada putaran pertama.

Saat akan dimulainya laga, saya mengharapkan duel akan berlangsung seru. Gengsi dua tim besar dipertaruhkan. Namun Persija harus menerima kenyataan bermain minus 1 orang, setelah Piere Njanka keluar karena akumulasi kartu kuning. Meski demikian, pertarungan tetap enak ditonton. Persija pun sempat mendapat peluang pinalti jika saja wasit Ambarita bisa lebih tegas. Suroso yang menyentuh bola dengan tangan di kotak 16 hanya diganjar tendangan bebas. Persija pun mampu memimpin lewat ‘bantuan’ gol bunuh diri Erik Setiawan di ujung babak pertama.

Setelah disamakan oleh Pato Morales. Drama Kanjuruhan kembali terjadi saat bola yang didorong Brown masuk ke gawang hasil lemparan ke dalam fair play, dinyatakan wasit menjadi gol sah. Setelah Persija mampu memastikan hasil seri lewat gol Fabio Lopes di masa tambahan waktu, giliran Greg Nwokolo yang diusir wasit.

Bagi penganut teori konspirasi, tampaknya begitu banyak celah untuk menghambat langkah Persija menapak tangga juara. Mulai dari sulitnya mendapat ijin menjadi tuan rumah di ibukota hingga beberapa keputusan wasit yang kontroversial. Tanpa Piere Njanka dan Greg Nwokolo di laga selanjutnya berarti perjuangan berat buat Bambang pamungkas Cs.

Sementara bagi penganut hukum karma, apa yang dialami tim ibukota adalah balasan dari perbuatan yang sama dari yang pernah mereka lakukan. Beberapa tahun silam, Budi Sudarsono yang saat itu masih membela Macan Kemayoran, mencetak gol ke gawang Persib hasil dari lemparan ke dalam fair play. Persija dipaksa merasakan sakit hati seperti yang pernah dirasakan oleh Persib di masa lalu.

Iya, untuk kasus Brown, gol memang sah secara peraturan. Namun yang menjadi penekanan dalam insiden ini adalah sikap tidak bermoral yang diperlihatkan oleh pemain asing yang sebenarnya mampu mentransfer nilai-nilai sepakbola yang lebih baik kepada kita.

Jika kita berandai-andai, mungkin Brown memang tidak tahu peraturan tidak tertulis soal fair play ini. Atau Brown sedang frustasi karena usahanya sepanjang babak pertama nihil sehingga ketika ada ‘peluang haram’ tanpa pikir panjang dia manfaatkannya semaksimal mungkin. Yang terakhir, anggap saja Brown tidak sengaja alias sebenarnya tidak berniat mencetak gol. Brown seharusnya tidak perlu berniat menyentuh bola lemparan ke dalam fair play itu. Karena memang itu bukan haknya. Itu saja.

Apapun itu, semuanya sebenarnya harus berpangkal pada sisi moral dan etika seorang pemain sepakbola. Pemain sepakbola bukan hanya dituntut memiliki skill tinggi, stamina prima, dan bisa bekerja sama dalam tim. Yang lebih penting lagi adalah menjunjung tinggi nilai sportifitas yang merupakan sisi hakiki dari olahraga itu sendiri.

Percuma ada bendera fair play yang dibawa oleh anak-anak setiap jelang pertandingan jika hanya sebuah bagian dari seremoni belaka. Percuma juga jika spanduk besar bertuliskan “Fair Play” di salah satu sudut Kanjuruhan dipajang. Kasus Brown wajib menjadi catatan terakhir hilangnya semangat fair play di sejarah kompetisi sepakbola kita. Kita tidak ingin nilai-nilai fair play yang seharusnya gratis untuk dilakukan, ternyata berbandrol mahal. Bahkan mungkin sangat mahal di sepakbola kita.

Tidak ada komentar:

Arsip Blog