Rabu, 29 April 2009

Koalisi dan Oposisi: Buat Siapa?

Koalisi dan Oposisi: Buat Siapa?

Berbagai cerita, manuver dan berbagai aksi dilakukan oleh elit, kelompok elit, dan oknum partai dalam persiapan jelang Pilpres 2009. Ada yang jual mahal dan punya daya tawar tinggi karena tampil sebagai partai pemenang pemilu legislatif. Di sisi lain, ada yang terpecah belah karena tidak punya pengalaman sebagai loser. Selebihnya terlihat tidak solid, gamang, dan bingung menentukan arah partainya. Sebagai buah dari sistem (super) multi partai, ujung-ujungnya harus ada koalisi dan kemungkinan besar akan lahir lagi pihak oposisi.

Itulah pemandangan yang bisa kita lihat dan dengar dari panggung bertajuk: “Partai-Partai dan Elit di Dalamnya”. Atas nama kepentingan bangsa, katanya, partai A akan bergabung dengan partai B meski sudah jelas beda ideologi dan basis massanya. Politikus memang mirip pesulap. Tadinya berseberangan dan mantap dengan visi misinya, dalam waktu singkat berubah total seolah tidak pernah terjadi apa-apa dengan ucapan dan perbuatannya.

Nama rakyat juga diseret-seret sebagai legitimasi koalisi ataupun oposisi kepentingan tertentu. Padahal belum genap sebulan pada kampanye pemilu legislatif, mereka saling serang dan melakukan propaganda kepada basis massa masing-masing. Mereka lupa rakyat di level bawah pernah saling bergesekan lantaran membela apa yang dikatakan harga diri organisasi.

Lalu dimana posisi rakyat,sebagai pemegang kedaulatan yang sejati? Sebagai pihak yang sudah melakukan kewajiban sebagai warga negara, seperti membayar pajak, mentaati peraturan dan lain-lain, kurang lebih rakyat hanya berada dalam posisi pasif. Menyaksikan, membaca, dan mendengar berita politik yang dibombardir oleh media. Sampai akhirnya menerima keputusan apa pun yang dihasilkan dari persengkongkolan antar partai.

Arah kebijakan partai, baik itu koalisi atau oposisi, menjadi milik orang partai sendiri. Rakyat hanya akan melihat bahwa hasil dari rembukan di antara partai-partai itu pembagian kursi di kabinet; jatah menteri untuk partai A di kabinet adalah sekian, sementara buat partai B adalah sekian. Itu saja.

Bagaimana nasib suara rakyat buat partai tertentu atas dasar ketidaksukaan kepada partai lainnya, pada akhirnya harus melihat kenyataan partainya berkoalisi dengan partai yang tidak disukainya? Dimana kemudian sisi keterwakilan suara rakyat? Hingga berakhirnya masa-masa, yang katanya lagi, pesta demokrasi ini, mau tidak mau kita akan terus “dipaksa” menyaksikan adegan badut-badut politik yang mencari kekuasaan.

Kita memang tidak boleh naïf. Politik secara hakiki memang untuk mendapatkan kekuasaan. Pertanyaannya kemudian, apakah kekuasaan yang diraih dilakukan dengan cara halal. Lalu, saat kekuasaan diraih, apakah memang digunakan untuk kepentingan rakyat atau hanya demi partai? Renungan buat kita semua pemilik republik ini.

Tidak ada komentar:

Arsip Blog