Iklan Caleg Yang Semakin Semerawut
Jelang kampanye parlemen Indonesia 9 April 2009, banyak calon legislatif (caleg) yang berlomba-lomba unjuk diri melalui berbagai media publik . Untuk skala partai, kita hampir tiap hari dicekoki oleh iklan partai, terutama partai besar, yang berseliweran di berbagai media, baik cetak, radio, dan TV.
Sedangkan untuk kaum calon anggota dewan, mereka lebih memilih media yang diangap paling murah sekaligus efektif yakni pemasangan poster, spanduk, stiker atau pamflet. Tidak berbeda dengan apa yang terjadi pada Pilkada Jakarta 2007 (paling tidak yang saya amati di Jakarta),pemandangan gambar-gambar tersenyum, tegang, kosong, menghiasi berbagai tempat-tempat umum.
Mungkin saja calon wakil rakyat itu terinspirasi oleh iklan-iklan lepas yang biasanya gratisan alias tidak bayar pajak,seperti: jasa sedot WC, cuci sofa, pijat, pinjaman uang Cs. Tidak ada retribusi dan pajak, tapi mereka bisa nampang. Memang ruang publik yang tersedia memiliki daya henti yang cukup kuat, apalagi jika ruang yang ada berada di lokasi strategis.
Seperti mengikuti pola Jasa Sedot WC Cs., iklan-iklan caleg itu bertebaran dimana-mana seperti tidak ada aturan. Ada celah sedikit saja, pasti sudah dipasang gambar-gambar musiman itu. Tidak hanya di ruang yang tidak bergerak (rumah, tiang listrik, jembatan dsb), tapi di tempat-tempat yang bergerak seperti bus, mobil, motor dsb, tidak luput dari sasaran iklan politik gratisan. Pertanyaan kemudian, apakah mereka sudah meminta izin? Iya, sekedar izin alias permisi.
Saya pernah bertanya kepada atasan istri saya, seoarang bule Amerika, tentang fenomena serupa di Amerika Serikat. Dia mengatakan bahwa disana para caleg memang bisa menaruh gambar mereka di tempat umum. Hanya saja, disana aturan lebih ketat. Gambar-gambar hanya boleh terpampang di area yang sudah ditentukan. Tidak asal taruh saja. Mereka pun harus melepas dan menurunkan gambar-gambar mereka usai pemilihan.
Bagaimana dengan di sini? Pemandangan jadi tidak enak dilihat. Tidak ada iklan-iklan politik saja, pemandangan sudah semerawut, apalagi sekarang semakin semerawut. Terlebih akibat dari polusi pemandangan tersebut salah satunya adalah sampah-sampah sisa iklan politik itu. Kotor.
Alih-alih orang-orang (target dari iklan politik) tertarik terhadap figur caleg, yang biasa ditemui adalah hanya senyum kecut, acuh tak acuh, ejekan. Hal ini wajar karena massa sudah berada dalam tahap jenuh oleh derasnya iklan politk yang over exposed dan over acting.
Lalu dimana peran KPU sebagai pemegang regulasi Pemilu? Katakanlah sudah aturan yang mengatur, namun bagaimana implementasinya? Untuk anggaran rumah dan mobil baru mereka bisa minta, kenapa untuk aturan pemasangan iklan caleg tidak bisa tegas?
Apa yang bisa kita contoh dari para calon wakil rakyat itu jika sebelum terpilih saja mereka sudah melakukan cara-cara yang tidak terpuji? Cara-cara murahan dan tidak elegan seperti itu masih dipertahankan dan menjadi andalan dari para politisi yang mengejar kursi. Satu pekerjaan rumah yang luput dari pantauan KPU.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar