Termehek-Mehek, Norak?
Awalnya kehadiran reality show memang menghadirkan suguhan yang berbeda buat pemirsa. Adegan nyata, ketegangan, dan aneka kejutan menghiasi tayangan yang mulai marak awal tahun 2000-an ini. Walapun kini, seorang orang bodoh pun bisa tahu apakah tayangan itu benar-benar real (nyata) atau sudah penuh rekayasa.
Harus saya katakan, saya pribadi sudah muak dengan reality show (RS) yang ada di TV saat ini. RS seolah memiliki legitimasi dari kekuatan media yang bisa melakukan apa saja. Saya pernah menulis soal tanggung jawab moral sebuah RS kepada pihak-pihak yang ikut atau diikutkan ‘masuk layar kaca’, padahal belum tentu mereka menginginkannya.
Dengan dalih mau menolong orang (klien dari RS), RS tampil sebagai pahlawan alternatif bagi penonton dan berada dalam wilayah yang justru tidak bisa diusik. Mereka bisa saja minta maaf dengan menghadirkan beberapa kamera di tengah publik, namun secara tidak langsung media sebenarnya sudah memperlihatkan arogansinya dengan masuk ke ruang publik secara sebelah pihak.
Demi kelangsungan sebuah program RS, sebagai bagian mesin uang sebuah industri media, para pengelola RS pun tidak mau peduli apakah orang banyak (publik) terusik atau tidak dengan kehadiran mereka di alam nyata (baca: lokasi syuting). Perlu diingat, tidak semua orang mau tampil di TV. Apalagi untuk sebuah tayangan yang kurang bermutu, yang bisa saja membuat pihak-pihak tertentu tersudutkan. Padahal dari semua kasus yang diangkat, semuanya adalah murni masalah pribadi yang bukan komsumsi publik.
Makin lucu (mungkin lebih tepatnya norak) saat Termehek-Mehek (TM) di acara Ulang Tahun Trans Desember ini membuat kuis berkaitan dengan tokoh-tokoh dalam salah satu episodenya. Sekali lagi, meski katanya setiap tayangan TM telah mendapat persetujuan dari semua pihak yang terlibat, tetap saja apa yang dilakukan oleh TM tidak etis. Setelah melihat tayangan yang bersangkutan dan dibuatkan kuis khusus, wajar jika kita bertanya apakah TM episode itu benar-benar nyata?
Terakhir, di episode TM, Minggu 28 Desember lalu, di salah satu adegan pencarian informasi, saat orang yang dimintai infomasi (target) bertanya apakah ada kamera atau tidak ke host, host mengatakan tidak ada kamera. Dengan target yang katanya memberikan persetujuan terhadap tayangan ini di akhir program saja, host bisa berbohong. Apalagi penonton yang hanya menyaksikan hasil dari proses produksi yang ada.
Memang kondisinya serba sulit. Segmen terbesar penonton TV terrestrial adalah masyarakat menengah-bawah. Segmen ini doyan betul dengan yang namanya hiburan. Sinetron yang menjual mimpi dan variety show telah menjadi menu utama. Bisa dimaklumi hadirnya RS yang menjual kenyataan (kadang-kadang juga rekayasa) tapi seolah-olah mimpi, pastinya diterima dengan sangat baik.
Semua berpulang kepada kita, sebagai masyarakat sekaligus penonton (yang tinggal menonton saja karena gratis). Harusnya pilihan ada di kita sebagai subjek, untuk menentukan mana acara yang benar-benar berkualitas. Jika penonton diletakkan pada posisi obyek, inilah yang salah. Kita akan menjadi bulan-bulanan TV yang tidak kenal kompromi kepada siapa tayangan yang disajikan ditonton.
Kembali sedikit ke TM episode 28 Desember 2008, di salah satu bagian pencarian, seorang target yang merasa risih dengan adanya kehadiran kru TM dan kliennya, sempat mengeluarkan kata-kata,”Norak..Narak!”, kepada kru para host dan kliennya.
Mungkin memang demikian adanya…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar