Senin, 08 Desember 2008

Sepakbola Alumni UI? Belum Berubah Tuh..

Sepakbola Alumni UI? Belum Berubah Tuh..

Lima bulan enggak menyepak si kulit bundar memang enggak enak rasanya. Namun akhirnya rasa enggak enak itu bisa saya bunuh saat kembali ke lapangan sepakbola buat sekedar berkeringat sekaligus bersilahturahmi.

Sabtu (6 Desember 2008) malam kemarin saya menetapkan hati untuk bisa bermain bola lagi bersama teman-teman dari Alumni Soccer Club Universitas Indonesia (ASC-UI) di Stadion Lebak Bulus, Jakarta. Tidak terasa, terakhir saya main bola (bareng Alumni UI) memang sekitar 5 bulan lalu. Memang, sejak beberapa tahun terakhir, buat saya bermain di ASC-UI, kalau tidak lagi pengen banget dan punya waktu, tidak akan terwujud.

Sejak dari rumah, saya sudah menguatkan diri memang hanya untuk mencari keringat sekaligus ‘melenturkan’ otot-otot yang mulai terasa kaku. Seperti mungkin pernah saya bilang, kalau bermain di Alumni UI, jangan pernah berharap banyak. Soalnya nantinya cuma bisa sakit hati. Maksudnya? Nanti pasti bisa simpulkan sendiri.

Lawan Bank Mandiri yang diperkuat oleh Patar Tambunan, Marzuki Nyakmad plus tenaga-tenaga muda, justru ASC UI tampil dengan jumlah pemain yang nge-pas. Apalagi materi pemain pun masih yang itu-itu juga, selain ada pemain muda yang masih kuliah. Saya yang tadinya hanya berniat “berkeringat’ sekitar 15-20 menit, harus segera merubahnya dengan niat lain. Jika lelah, bisa berhenti tapi siap untuk main lagi.

Yang masih tetap tidak berubah dari sepakbola ASC-UI adalah kultur ‘sok ngatur tapi gak mau diatur’. Kalimat yang lain tapi sama maknanya adalah ‘cuma mau ngomong aja”. Kalau mengkritik paling jago, tapi kebal terhadap kritikan. Sudah menjadi rahasia umum, ada beberapa oknum ‘penting’ yang pengen-nya berperan dan dipandang di dalam maupun di luar lapangan. Menurut saya, kondisi ini tidak sehat buat ASC-UI, dalam konteks komunitas sepakbola lokal.

Ada pula oknum pemain tua yang merasa paling paham sepakbola. Padahal yang bisa saya lihat dan didengar cuma ocehan basi tidak penting. Soal visi permainan, secara teknis maupun filosofi, sama sekali nol. Saya berani bertaruh, semasa muda pun dia juga memang tidak bisa bermain sepakbola. Karena kelihatan kok orang yang paham bermain sepakbola meski sudah tua sekalipun.

Ada juga sih pemain tua yang rendah hati tapi tingggi kualitas permainannya, seperti Sunu. Yang kualitasnya biasa saja tapi tetap humble bisa saya sebut nama Mas Doni, yang baru saja saya tahu mengundurkan diri sebagai Sekretaris ASC-UI via milis. Alasannya tidak bisa diceritakan di hadapan floor, katanya.

Main bola di Alumni UI memang harus siap mental dan capek. Enggak perlu ngoyo, dibawa santai aja. Kalau emosi yang didahulukan, yang ada seperti yang terjadi malam itu. Saat saya sudah di luar lapangan, ada alumni yang keluar lapangan permainan sambil buka kaos dan menggerutu tanpa minta pergantian.

Dari ‘bahasa kalbu’ yang keluar dari mulutnya, seolah ia enggak bisa bermain dengan (maaf) kotoran. Seharusnya dia berkaca pada kemampuannya sendiri. Maunya jadi ‘Raja Gocek’ tapi kalau teman salah gocek atau tidak memberi bola kepadanya, lantas marah. Ini cerminan sepakbola alumni yang didiami oknum-oknum pemain ‘sok jago’ sekaligus tidak bijaksana.

Sekali lagi, saya hanya ingin ‘berkeringat’ main simple dan enak. Selalu saya tanamkan bahwa kita harus sadar kemampuan dan jangan terlalu memaksa. Prestasi sepakbola macam apa sih yang dicari pada usia di atas kepala 3 dan bukan pemain sepakbola profesional pula? Dari kejadian semalam, memang tidak ada yang berubah di sepakbola alumni UI. Atau makin buruk?

1 komentar:

fitrierwin mengatakan...

hoi bung sosa, daripada makan hati, sakit hati, capek hati ain sama alumni UI gak juntrung...mendingan main bola bareng sepakbolaria di lapangan panahan tiap hari jumat sore (kalo gak ujan). disini hampir pasti gak akan ada kejadian kaya di sepakbola alumni UI deh

Arsip Blog