Kamis, 06 November 2008

Sisi Kerugian dari Sebuah Reality Show

Sisi Kerugian dari Sebuah Reality Show

Seorang bapak terlihat turun dari mobil, lalu masuk ke dalam rumah sakit. Setelah itu, bapak itu menuju kampus anaknya untuk menjemput seorang gadis yang tidak lain adalah teman anaknya. Mereka menuju sebuah restoran dan dilanjuti masuk ke hotel. Semuanya direkam dalam video dan hasilnya diberikan kepada anak dari bapak itu. Akhirnya sang anak berhasil menggerebek sang bapak dan pacar rahasianya.

Itulah ringkasan dari salah satu program reality show (RS) yang saya saksikan minggu lalu. Dari cerita nyata yang dikemas sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah tontonan, RS yang demikian memang memiliki keunggulan tersendiri. Berbeda dengan sinetron, RS berisikan pemain-pemain ‘sungguhan’ dari kenyataan yang ada dan tidak memberikan mimpi. Bisa dikatakan RS mendapat tempat tersendiri di hati penggemarnya. Banyaknya RS pun membuat kita (anggap aja ini sisi narsis saya semata) harus was-was karena ada kamera dimana-mana dan akan tayang di TV.
RS telah berusaha mengangkat berbagai problema hubungan inter-personal yang ada dalam masyarakat dengan kemasan secantik mungkin. Dengan embel-embel membantu klien yang punya masalah atau keinginan, RS tampil sebagai pahlawan. Tujuan normatifnya adalah untuk memberikan gambaran nyata kondisi masyarakat kita.
Meskipun dalam kerangka media sebagai industri, tetap saja bahwa uang adalah panglima. Dengan meningkatkan jumlah penonton RS sejenis, jelas keuntungan yang diperoleh dari iklan dan image RS yang bersangkutan menjadi tinggi pula. Jika kita bicara keuntungan, lantas bagaimana dengan sisi kerugian yang bisa saja tidak dilihat oleh masyarakat dan terlebih oleh pengelola RS itu sendiri?
Salah satu kerugian yang dimaksud adalah kerugian psikologis para pemain yang tampil dalam program RS tertentu. Terlebih jika yang menjadi sorotan dalam sebuah RS adalah bad guys/gals yang nantinya dalam kehidupan sehari-hari harus menanggung beban moral dan mental tersendiri.
Untuk kasus diatas, bisa dibayangkan bagaimana perasaan teman sang anak yang menajdi pacar rahasia bapaknya saat berada di lingkungan kampus tempat dia kuliah atau di tengah-tengah masyarakat? Hal yang kurang lebih sama dengan apa yang dialami sang bapak dan juga sang anak? Padahal kita harus mengakui tidak semua orang yang tampil sebagi ‘penjahat’ dalam tayangan ½ jam harus secara otomatis mendapat label buruk di kehidupannya.
Apakah RS bertanggung jawab secara moral terhadap mereka semua sebagai pelakon dalam tayangan mereka? Di saat kita menikmati keuntungan materi dan moril atas kerja keras kita, sementara teman-teman kita harus malu menghadapi penilaian masyarakat atas tindakannya di tayangan RS yang kita buat.
Terpikirkan oleh para pengasuh dan pekerja RS bagaimana jika hal itu menimpa keluarga mereka atau diri mereka sendiri? Bagi sebagian orang mungkin bisa acuh tak acuh terhadap hal ini. Namun perlakuan tidak adil oleh RS terhadap orang-orang tertentu demi kepentingan sebuah tayangan (semata) perlu menjadi renungan kita bersama.

1 komentar:

fitrierwin mengatakan...

halo kawan sosa, kayanya banyak reality show yg sudah disetting. artinya, adegan yg ada udah nggak reality lagi. ini gue denger dari kawan2 yg berkecimpung di media elektronik. mungkin sebagai pekerja yg banyak berhubungan dengan tivi ente yg lebih paham.

Arsip Blog