Potret Liga Super Kita Sebulan Ini
Sudah 1 bulan Indonesia disuguhkan laga-laga sepakbola dari klub-klub dari kasta tertinggi kompetisi sepakbola Indonesia, Indonesia Super League (ISL). Sebuah kompetisi, yang katanya, paling bergengsi dengan label Liga Super harusnya bisa menunjukkan kualitas dalam segala hal.
Baru berumur sebulan, Liga Super sudah memberikan berbagai catatan. Sedikit yang positif namun banyak sisi buruk pula. Mulai dari kerusuhan penonton, perkelahian pemain, wasit yang masih saja belum kompeten, masalah perijinan yang rumit, hingga sepinya (baca:kosong) stadion untuk sebuah laga super, dan masih banyak lagi.
Secara konsep, Liga Super memang bisa dikatakan salah satu obat bagi perbaikan sepakbola nasional. Mulai dari kewajiban pembinaan pemain yunior, sarana dan prasarana yang standar, manajemen yang auditable, dan sebagainya. Harusnya kita bisa menilai kemampuan diri bahwa dengan konsep seperti itu, perlu waktu beberapa tahun ke depan.
Karena senang sekali dengan budaya karbitan, akhirnya Liga Super digulirkan juga tahun ini. Buah dari proses prematur dan tergesa-gesa itu sama sekali tidak enak dan sangat merugikan banyak pihak. Meskipun kesannya siap, pada pelaksanaannya sangat berantakan. Berbagai persoalan akhirnya muncul dan tidak mudah menemukan solusinya.
Klub-klub yang ‘stadion miliknya’ dinyatakan tidak layak, harus mencari stadion pengganti yang memadai. Akhirnya klub bersangkutan harus merogoh kocek jauh lebih besar dengan menggelar pertandingan yang letaknya jauh dari stadion semula. Alih-alih memperoleh keuntungan, penonton yang hadir pun sangat sedikit. Karena hal itu, kita mendengar beberapa klub yang sudah defisit neraca keuangannya. Bisa bertahan satu putaran saja itu sudah baik.
Karena persoalan perijinan (yang dilatarbelakangi potensi kerusuhan), Persija harus menunda 2 laga awal kandangnya. Persija sangat merugi, efek lanjutannya klub-klub lawannya pun demikian. Tidak ingin terus-terusan kantong kosong dan semakin merugi, Persija pun harus menggelar laga kandang ke-3 di Solo. Kasus Persija menandakan bahwa BLI dan Persija belum bisa dikatakan siap secara keseluruhan menggelar laga di ibukota.
Padahal kondisi keamanan bisa dikatakan kondusif tapi ijin tidak keluar. Bagaimana jika tahun depan akan digelar pemilihan umum? Dimana saat perijinan yang sangat ketat justru mencapai puncaknya. Kita tidak tahu bagaimana liga ini bisa terus berjalan. Belum lagi agenda-agenda politik lokal yang bisa sangat mungkin mengganggu kompetisi.
Apapun labelnya, nyatanya memang tak mampu mendongkrak mutu kompetisi sepakbola Indonesia. Justru harusnya dengan embel-embel Liga Super, para pengelola sepakbola nasional memiliki beban dan malu pada diri sendiri. Tapi saya salah, mereka memang sudah tidak punya rasa malu lagi. Buktinya ketua umum yang bermasalah saja masih dipertahankan mati-matian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar