Ijin Nihil, Cermin Buat Semua
Pertandingan kandang kedua Macan Kemayoran yang sedianya akan digelar Jum’at (1 Agustus 2008) akhirnya harus bernasib sama dengan laga Persija-Persita, Senin (28 Juli 2008) yang batal lantarannya tidak keluarnya ijin keamanan dari Polda Metro Jaya.
Berdasarkan info yang saya dapat dari berbagai sumber, banyak cara sebenarnya sudah dilakukan oleh pihak Persija untuk bisa mendapatkan ‘surat sakti’ dari pihak kepolisian. Mulai dari koordinasi dengan BLI, penggalangan dukungan dari Bamus DKI hingga pendekatan ke Wakapolri langsung.
Namun tetap saja kepolisian tidak bergeming untuk sementara mengharamkan penyelenggaraan pertandingan Persija di ibukota. Alasannya sangat mudah ditebak, apalagi kalau bukan potensi terjadinya kerusuhan. Suporter Persija memiliki rapor merah di tangan kepolisian. Sederet fakta buruk akibat ulah suporter Persija tampaknya masih menjadi stigma buat pihak aparat. Bisa saja hal ini dialami oleh sebagian masyarakat Jakarta ketika digelarnya hajatan tontonan sepakbola.
Saat masih memakai Stadion Lebak Bulus sebagai kandang, banyak orang resah dan naik darah lantaran jalanan yang makin macet dan semerawut (tidak ada pertandingan sepakbola saja sudah macet) akibat iring-iringan suporter yang tidak tertib berlalu-lintas itu. Itu baru di Lebak Bulus yang letaknya dipinggir Jakarta. Bagaimana jika dilakukan di jantung kota? Mungkin kepolisian kini lebih cermat berhitung untuk hal ini. Resiko lebih besar sudah ada dibenak para penegak keamanan.
Sayang saat semua pihak cooling down, tiba-tiba ketenangan dirusak oleh sebagian kecil supporter yang merusak fasilitas umum sekitar SUGBK di malam pertandingan Persija-Persita yang dibatalkan. Kejadian ini menambah runyam situasi. Polda pun semakin keras ‘menghukum’ Persija (sepakbola) yakni tidak boleh ada pertandingan di wilayah hukum Jakarta.
Namun jika tidak mendapat ijin keamanan dari Polda, lantas dimana Persija harus menggelar partai kandangnya? Opsinya ada di luar Jakarta. Masalah lain yang lebih besar sudah menanti. Kerugian materi dan moril dari Persija yang sangat besar sudah pasti. Lalu citra sepakbola, bahkan juga situasi politik dan keamanan ibukota, bisa dikatakan tidak stabil.
Pihak kepolisian tentunya bisa memberikan kelonggaran atau semacam tes case kepada masyarakat sepakbola Jakarta bahwa pertandingan Persija bisa digelar dan steril dari sikap anarkis. Memang berbagai catatan buruk masih tersimpan rapi di dalam lemari file kepolisian, namun dengan niat baik dari semua unsur di Persija, bukan berarti lantas tidak diberikan kesempatan.
Jaminan dari pihak terkait yang memiliki kepentingan digelarnya laga kandang Persija mutlak ada. Harus ada yang berani mengambil peran tanggung jawab jika memang ketakutan sebagian besar warga Jakarta akan kerusuhan ternyata menjadi kenyataan.
Kita pun semua harus lapang dada melihat masalah ini. Hikmah dari rentetan kisah tak menarik ini mulai Jum’at (25 Juli 2008) hingga Kamis (31 Juli 2008) malam adalah kita semua harus benar-benar bercermin terhadap apa yang sudah kita lakukan selama ini.
Sekali lagi, kita semua terpukul dengan kejadian ini. Namun tampaknya ongkos yang mahal ini memang harus ditanggung akibat perilaku kita sendiri. Mudah-mudahan dengan pengorbanan yang sudah kita lakukan, Persija bisa kembali bermain di kandangnya. Yang tidak kalah penting, kita semua tetap terus wajib menjaga sikap dan mental bersama untuk bisa mendapatkan kepercayaan semua pihak bahwa sepakbola tidak identik dengan kerusuhan.
Pertandingan kandang kedua Macan Kemayoran yang sedianya akan digelar Jum’at (1 Agustus 2008) akhirnya harus bernasib sama dengan laga Persija-Persita, Senin (28 Juli 2008) yang batal lantarannya tidak keluarnya ijin keamanan dari Polda Metro Jaya.
Berdasarkan info yang saya dapat dari berbagai sumber, banyak cara sebenarnya sudah dilakukan oleh pihak Persija untuk bisa mendapatkan ‘surat sakti’ dari pihak kepolisian. Mulai dari koordinasi dengan BLI, penggalangan dukungan dari Bamus DKI hingga pendekatan ke Wakapolri langsung.
Namun tetap saja kepolisian tidak bergeming untuk sementara mengharamkan penyelenggaraan pertandingan Persija di ibukota. Alasannya sangat mudah ditebak, apalagi kalau bukan potensi terjadinya kerusuhan. Suporter Persija memiliki rapor merah di tangan kepolisian. Sederet fakta buruk akibat ulah suporter Persija tampaknya masih menjadi stigma buat pihak aparat. Bisa saja hal ini dialami oleh sebagian masyarakat Jakarta ketika digelarnya hajatan tontonan sepakbola.
Saat masih memakai Stadion Lebak Bulus sebagai kandang, banyak orang resah dan naik darah lantaran jalanan yang makin macet dan semerawut (tidak ada pertandingan sepakbola saja sudah macet) akibat iring-iringan suporter yang tidak tertib berlalu-lintas itu. Itu baru di Lebak Bulus yang letaknya dipinggir Jakarta. Bagaimana jika dilakukan di jantung kota? Mungkin kepolisian kini lebih cermat berhitung untuk hal ini. Resiko lebih besar sudah ada dibenak para penegak keamanan.
Sayang saat semua pihak cooling down, tiba-tiba ketenangan dirusak oleh sebagian kecil supporter yang merusak fasilitas umum sekitar SUGBK di malam pertandingan Persija-Persita yang dibatalkan. Kejadian ini menambah runyam situasi. Polda pun semakin keras ‘menghukum’ Persija (sepakbola) yakni tidak boleh ada pertandingan di wilayah hukum Jakarta.
Namun jika tidak mendapat ijin keamanan dari Polda, lantas dimana Persija harus menggelar partai kandangnya? Opsinya ada di luar Jakarta. Masalah lain yang lebih besar sudah menanti. Kerugian materi dan moril dari Persija yang sangat besar sudah pasti. Lalu citra sepakbola, bahkan juga situasi politik dan keamanan ibukota, bisa dikatakan tidak stabil.
Pihak kepolisian tentunya bisa memberikan kelonggaran atau semacam tes case kepada masyarakat sepakbola Jakarta bahwa pertandingan Persija bisa digelar dan steril dari sikap anarkis. Memang berbagai catatan buruk masih tersimpan rapi di dalam lemari file kepolisian, namun dengan niat baik dari semua unsur di Persija, bukan berarti lantas tidak diberikan kesempatan.
Jaminan dari pihak terkait yang memiliki kepentingan digelarnya laga kandang Persija mutlak ada. Harus ada yang berani mengambil peran tanggung jawab jika memang ketakutan sebagian besar warga Jakarta akan kerusuhan ternyata menjadi kenyataan.
Kita pun semua harus lapang dada melihat masalah ini. Hikmah dari rentetan kisah tak menarik ini mulai Jum’at (25 Juli 2008) hingga Kamis (31 Juli 2008) malam adalah kita semua harus benar-benar bercermin terhadap apa yang sudah kita lakukan selama ini.
Sekali lagi, kita semua terpukul dengan kejadian ini. Namun tampaknya ongkos yang mahal ini memang harus ditanggung akibat perilaku kita sendiri. Mudah-mudahan dengan pengorbanan yang sudah kita lakukan, Persija bisa kembali bermain di kandangnya. Yang tidak kalah penting, kita semua tetap terus wajib menjaga sikap dan mental bersama untuk bisa mendapatkan kepercayaan semua pihak bahwa sepakbola tidak identik dengan kerusuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar