Permen, Bukan Lagi Alat Kembalian Yang Sah
Akhir-akhir ini sebenarnya saya sedang jengkel terhadap beberapa orang penjual yang tanpa basa-basi memberikan permen sebagai penggenap kembalian kepada saya. Namun karena saya pikir mungkin menurut mereka permen nilainya sama dengan uang dan (ini yang terpenting) saya juga tidak punya waktu, jadinya permen-permen itu selalu saya tinggalkan di tempat pembelian.
Saat uang koin alias recehan sudah mulai langka, permen akhirnya banyak dipilih oleh penjual sebagai alat pengganti uang kembalian yang diberikan tanpa adanya persetujuan dari pembeli sebelumnya. Jelas dalam hal ini, konsumen menjadi pihak yang dirugikan. Saya tegaskan disini, ini bukan masalah uangnya. Bisa jadi, nilai permen lebih tinggi dari nilai uang kembalian yang seharusnya. Tapi kondisi ini menandakan ada yang salah dengan cara berpikir di masyarakat kita.
Dengan kondisi tanpa adanya persetujuan itu, bisa saja kita sebagai pembeli menjadikan permen sebagai alat pembayaran saat membeli barang tertentu. Tapi rasanya hal itu tidak mungkin terwujud. Lantaran, permen tampaknya sudah ditakdirkan berperan hanya sebagai ‘uang kembalian’ saja. Tidak lebih dari itu.
Jika alasan yang dipakai penjual adalah langkanya uang koin, penjual harusnya mau repot untuk melakukan penyesuaian harga terhadap produk yang dijual. Semua produk mesti dikenai harga yang bulat. Tapi cara ini pasti akan bikin pusing penjual mengingat mereka pun harus melihat harga di sebelah alias pesaing. Atau bisa saja penjual memberlakukan sistem akumulasi kembalian setiap terjadi keluarnya nilai uang pecahan dalam kembalian. Jika sudah bulat, pembeli bisa menukarkan akumulasi itu dengan barang yang senilai harganya.
Cara lain yang bisa ditempuh adalah ‘mengalah’. Seperti yang (pernah) dilakukan oleh sebuah hyperstore, harga-harga yang tidak bulat dan harus membutuhkan uang koin, dikenai kebijakan pembulatan kebawah. Misalnya total nilai belanja yang tertera adalah Rp. 10.770,-, maka pihak penjual membulatkan menjadi Rp. 10.700,- atau 10.500,-. Selain sebagai cara marketing yang memikat, ini pun bisa dikatakan menguntungkan konsumen.
Pertanyaannya, apakah semua penjual mau melakukan hal demikian? Tidak ada kata lain, penjual memang harus lebih repot dari pembeli. Pembeli adalah raja yang memang punya hak pelayanan lebih. Dengan menjadikan permen sebagai alat kembalian dalam transaksi, berarti kita kembali ke masa lampau saat perdagangan masih menggunakan sistem barter.
Akhir-akhir ini sebenarnya saya sedang jengkel terhadap beberapa orang penjual yang tanpa basa-basi memberikan permen sebagai penggenap kembalian kepada saya. Namun karena saya pikir mungkin menurut mereka permen nilainya sama dengan uang dan (ini yang terpenting) saya juga tidak punya waktu, jadinya permen-permen itu selalu saya tinggalkan di tempat pembelian.
Saat uang koin alias recehan sudah mulai langka, permen akhirnya banyak dipilih oleh penjual sebagai alat pengganti uang kembalian yang diberikan tanpa adanya persetujuan dari pembeli sebelumnya. Jelas dalam hal ini, konsumen menjadi pihak yang dirugikan. Saya tegaskan disini, ini bukan masalah uangnya. Bisa jadi, nilai permen lebih tinggi dari nilai uang kembalian yang seharusnya. Tapi kondisi ini menandakan ada yang salah dengan cara berpikir di masyarakat kita.
Dengan kondisi tanpa adanya persetujuan itu, bisa saja kita sebagai pembeli menjadikan permen sebagai alat pembayaran saat membeli barang tertentu. Tapi rasanya hal itu tidak mungkin terwujud. Lantaran, permen tampaknya sudah ditakdirkan berperan hanya sebagai ‘uang kembalian’ saja. Tidak lebih dari itu.
Jika alasan yang dipakai penjual adalah langkanya uang koin, penjual harusnya mau repot untuk melakukan penyesuaian harga terhadap produk yang dijual. Semua produk mesti dikenai harga yang bulat. Tapi cara ini pasti akan bikin pusing penjual mengingat mereka pun harus melihat harga di sebelah alias pesaing. Atau bisa saja penjual memberlakukan sistem akumulasi kembalian setiap terjadi keluarnya nilai uang pecahan dalam kembalian. Jika sudah bulat, pembeli bisa menukarkan akumulasi itu dengan barang yang senilai harganya.
Cara lain yang bisa ditempuh adalah ‘mengalah’. Seperti yang (pernah) dilakukan oleh sebuah hyperstore, harga-harga yang tidak bulat dan harus membutuhkan uang koin, dikenai kebijakan pembulatan kebawah. Misalnya total nilai belanja yang tertera adalah Rp. 10.770,-, maka pihak penjual membulatkan menjadi Rp. 10.700,- atau 10.500,-. Selain sebagai cara marketing yang memikat, ini pun bisa dikatakan menguntungkan konsumen.
Pertanyaannya, apakah semua penjual mau melakukan hal demikian? Tidak ada kata lain, penjual memang harus lebih repot dari pembeli. Pembeli adalah raja yang memang punya hak pelayanan lebih. Dengan menjadikan permen sebagai alat kembalian dalam transaksi, berarti kita kembali ke masa lampau saat perdagangan masih menggunakan sistem barter.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar