Kasus Monas, Sukses atau Kegagalan Penguasa
Selama lebih dari sepekan ini, kita benar-benar disuguhkan drama berseri dari lanjutan kasus Monas, 1 Juni 2008, yang masih ‘tayang’ di berbagai media. Layaknya sinetron, kasus ini mendapat rating tertinggi dengan jumlah penonton terbanyak. Diperkirakan, bagaikan bola salju, kasus ini bergulir sembari menyambar hal-hal lain yang membuat kasus ini menjadi lebih rumit.
Mengapa kasus ini demikian menarik perhatian banyak pihak?
Secara sederhana kita bisa mengatakan bahwa kasus ini diibaratkan sebagai bom waktu yang memang tinggal menunggu diledakkan oleh mereka yang memiliki kepentingan tertentu. Isu SARA adalah isu yang paling laku untuk membuat kerusuhan (selain isu ekonomi yang dekat dengan rakyat). Apalagi menyangkut kaitannya dengan agama mayoritas. Begitu isu SARA yang sudah diolah sedemikian rupa itu dipadukan dengan skenario tingkat tinggi, jadilah cerita seru yang pastinya mengundang banyak opini dan sikap.
Banyak yang mengatakan bahwa kasus Monas berawal dari berlarut-larutnya persoalan Ahmadiyah yang masih menunggu ketegasan pemerintah. Saya justru melihat bahwa Ahmadiyah adalah isu yang memang diciptakan untuk kepentingan kekuasaan. Sementara itu, hal yang serupa juga dilakukan penguasa dengan ‘memelihara’ FPI sejak lama yang pada akhirnya untuk kepentingan tertentu pula.
Saat gunjang-ganjing isu Ahmadiyah ini mengemuka, saya yang sudah tahu tentang Ahmadiyah sejak saya duduk di sekolah dasar, sebenarnya sempat bertanya. Hari gini ribut soal Ahmadiyah? Kemana saja selama ini? Kalau memang tidak setuju, kenapa baru sekarang? Kenapa masyarakat tidak jeli terhadap hal ini? Jelas, ini adalah isu yang kembali dilahirkan untuk mengalihkan perhatian.
FPI sendiri yang sering berbuat kekerasan atas nama agama juga tidak mendapatkan tanggapan serius dari penguasa. Lalu, mengapa penguasa tidak pernah bisa bertindak keras terhadap FPI? Mengutip yang dikatakan sosiolog, Thamrin A Tamagola bahwa FPI adalah anak macan penguasa memang ada benarnya. Penguasa telah menjadikan anak macan ini sebagai alibi tertentu untuk kepentingan penguasa. Akumulasi opini massa terhadap FPI sengaja dijaga untuk pada saatnya meledak sendiri pada waktu yang tepat.
Dengan makin kuatnya isu kesulitan ekonomi, dalam hal ini adalah kenaikan BBM, maka penguasa perlu untuk mengalihkan perhatian dengan ‘jualan’ yang lebih laku di masyarakat. Bentrokan yang terjadi di Monas adalah puncak dari skenario penguasa dalam menciptakan isu utama. Demo AKKBB adalah momen yang tepat untuk rencana itu. Sangat mustahil, aparat keamanan membiarkan bentrokan dua kutub berlawanan itu terjadi. Mengapa mereka tidak ada di lokasi kejadian saat bentrokan terjadi? Dengan melihat respon yang luar biasa atas kasus ini, penguasa dapat dikatakan sukses dalam menciptakan isu baru.
Namun kesuksesan itu bisa menjadikan senjata makan tuan bila mengingat lanjutan episode yang makin menegangkan dalam cerita ini. Bola panas isu ini justru makin meminta ketegasan penguasa dalam menjaga wibawanya. Penguasa makin dituntut lebih berhati-hati dalam mengolah solusi atas masalah yang ditanamnya sendiri. Jika penguasa tidak mampu menjaga keseimbangan akibat goncangan yang terjadi hari-hari ke depan, maka penguasa sebenarnya telah gagal.
Suhu politik yang kian memanas jelang pemilu 2009, tentunya persoalan sekecil pun akan menjadi bola besar yang akan semakin dimanfaatkan oleh kepentingan tertentu (yang biasanya hanya sesaat). Politik memecah-belah rakyat bukan lagi dimainkan oleh Belanda (penjajah), melainkan oleh bangsa Indonesia sendiri. Peran media sebenarnya perlu dipertanyakan. Saya termasuk orang yang kurang percaya dengan media. Media yang memegang kendali informasi bisa dengan mudah membentuk opini. Sebagai sebuah industri, mereka pastinya lebih senang menjual informasi yang laku di pasaran. Kita yang berada dalam posisi sebagai penerima informasi harus lebih kritis dalam menyerap berbagai informasi yang diolah.
Kembali, masyarakat harus lebih jeli dalam melihat fenomena yang terjadi.
Selama lebih dari sepekan ini, kita benar-benar disuguhkan drama berseri dari lanjutan kasus Monas, 1 Juni 2008, yang masih ‘tayang’ di berbagai media. Layaknya sinetron, kasus ini mendapat rating tertinggi dengan jumlah penonton terbanyak. Diperkirakan, bagaikan bola salju, kasus ini bergulir sembari menyambar hal-hal lain yang membuat kasus ini menjadi lebih rumit.
Mengapa kasus ini demikian menarik perhatian banyak pihak?
Secara sederhana kita bisa mengatakan bahwa kasus ini diibaratkan sebagai bom waktu yang memang tinggal menunggu diledakkan oleh mereka yang memiliki kepentingan tertentu. Isu SARA adalah isu yang paling laku untuk membuat kerusuhan (selain isu ekonomi yang dekat dengan rakyat). Apalagi menyangkut kaitannya dengan agama mayoritas. Begitu isu SARA yang sudah diolah sedemikian rupa itu dipadukan dengan skenario tingkat tinggi, jadilah cerita seru yang pastinya mengundang banyak opini dan sikap.
Banyak yang mengatakan bahwa kasus Monas berawal dari berlarut-larutnya persoalan Ahmadiyah yang masih menunggu ketegasan pemerintah. Saya justru melihat bahwa Ahmadiyah adalah isu yang memang diciptakan untuk kepentingan kekuasaan. Sementara itu, hal yang serupa juga dilakukan penguasa dengan ‘memelihara’ FPI sejak lama yang pada akhirnya untuk kepentingan tertentu pula.
Saat gunjang-ganjing isu Ahmadiyah ini mengemuka, saya yang sudah tahu tentang Ahmadiyah sejak saya duduk di sekolah dasar, sebenarnya sempat bertanya. Hari gini ribut soal Ahmadiyah? Kemana saja selama ini? Kalau memang tidak setuju, kenapa baru sekarang? Kenapa masyarakat tidak jeli terhadap hal ini? Jelas, ini adalah isu yang kembali dilahirkan untuk mengalihkan perhatian.
FPI sendiri yang sering berbuat kekerasan atas nama agama juga tidak mendapatkan tanggapan serius dari penguasa. Lalu, mengapa penguasa tidak pernah bisa bertindak keras terhadap FPI? Mengutip yang dikatakan sosiolog, Thamrin A Tamagola bahwa FPI adalah anak macan penguasa memang ada benarnya. Penguasa telah menjadikan anak macan ini sebagai alibi tertentu untuk kepentingan penguasa. Akumulasi opini massa terhadap FPI sengaja dijaga untuk pada saatnya meledak sendiri pada waktu yang tepat.
Dengan makin kuatnya isu kesulitan ekonomi, dalam hal ini adalah kenaikan BBM, maka penguasa perlu untuk mengalihkan perhatian dengan ‘jualan’ yang lebih laku di masyarakat. Bentrokan yang terjadi di Monas adalah puncak dari skenario penguasa dalam menciptakan isu utama. Demo AKKBB adalah momen yang tepat untuk rencana itu. Sangat mustahil, aparat keamanan membiarkan bentrokan dua kutub berlawanan itu terjadi. Mengapa mereka tidak ada di lokasi kejadian saat bentrokan terjadi? Dengan melihat respon yang luar biasa atas kasus ini, penguasa dapat dikatakan sukses dalam menciptakan isu baru.
Namun kesuksesan itu bisa menjadikan senjata makan tuan bila mengingat lanjutan episode yang makin menegangkan dalam cerita ini. Bola panas isu ini justru makin meminta ketegasan penguasa dalam menjaga wibawanya. Penguasa makin dituntut lebih berhati-hati dalam mengolah solusi atas masalah yang ditanamnya sendiri. Jika penguasa tidak mampu menjaga keseimbangan akibat goncangan yang terjadi hari-hari ke depan, maka penguasa sebenarnya telah gagal.
Suhu politik yang kian memanas jelang pemilu 2009, tentunya persoalan sekecil pun akan menjadi bola besar yang akan semakin dimanfaatkan oleh kepentingan tertentu (yang biasanya hanya sesaat). Politik memecah-belah rakyat bukan lagi dimainkan oleh Belanda (penjajah), melainkan oleh bangsa Indonesia sendiri. Peran media sebenarnya perlu dipertanyakan. Saya termasuk orang yang kurang percaya dengan media. Media yang memegang kendali informasi bisa dengan mudah membentuk opini. Sebagai sebuah industri, mereka pastinya lebih senang menjual informasi yang laku di pasaran. Kita yang berada dalam posisi sebagai penerima informasi harus lebih kritis dalam menyerap berbagai informasi yang diolah.
Kembali, masyarakat harus lebih jeli dalam melihat fenomena yang terjadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar