Mengapa Harus Merokok?
Tidak berlebihan rasanya jika saya meyakini bahwa salah satu hal yang saya syukuri dalam hidup ini adalah pilihan hidup saya yang tidak merokok. Saya merasa bahagia berada dalam lingkungan yang segar bebas dari asap rokok. Istri dan anak-anak saya bebas menikmati udara bersih dan tentunya leluasa berinteraksi dengan saya tanpa harus dipisahkan oleh kegiatan merokok (jika saya adalah perokok).
Entah mengapa, banyak orang yang (merokok pastinya) bertanya mengapa saya tidak merokok. Sementara lingkungan terdekat saya semuanya adalah perokok. Ibu, Kakak, dan adik adalah orang-orang di keluarga yang merokok. Belum lagi lingkungan bermain saya yang bisa dikatakan 9 dari 10 orang baik laki-laki maupun perempuan adalah perokok.
Seingat saya, saya hanya mencoba untuk mengisap sebatang rokok sekali dalam seumur hidup. Kejadiannya saat saya duduk di bangku SMP, hanya untuk coba-coba saja. Saat itu saya mencoba untuk menemukan kenikmatan merokok yang dirasakan oleh beberapa teman. Tapi ternyata saya tidak menemukan dan merasakan sensasi yang sesuai dengan bayangan orang akan enaknya merokok. Sejak saat itu saya yakin bahwa saya tidak merasa perlu untuk merokok. Saya tidak menemukan alasan kuat bagi diri saya untuk merokok. Saya tidak menemukan sensasi apalagi keuntungan buat saya pribadi. Ini adalah pilihan yang saya pegang.
Sementara banyak orang bahkan teman-teman saya memilih untuk merokok dengan alasan iseng dan gaya saja. Apalagi banyak kaum wanita yang saya tahu akhirnya merokok karena pergaulan saja atau lebih tepatnya agar bisa bergaul saja. Sangat disayangkan jika alasan mereka adalah demikian.
Kegemaran atau kebiasaan merokok pada akhirnya tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial yang terjadi dalam masyarakat. Memang belum ada penelitian soal kaitan antara kebiasaan merokok dengan perilaku yang tidak berkenan dalam masyarakat. Namun realita yang kita hadapi bahwa banyak perokok yang memilii hak preogratif untuk merokok di mana dan kapan saja. Tanpa syarat dan ketentuan yang berlaku.
Banyak orang yang merokok tetap bisa bersikap sopan dan menghargai hak orang lain akan udara segar. Namun sering saya melihat banyak orang yang merokok seperti tidak memiliki tenggang rasa terhadap sesama. Di sekolah anak saya yang terpampang dengan besar tulisan 'Kawasan Bebas Asap Rokok', tetap saya banyak oknum orang tua, supir dan tamu yang merokok di halaman.
Di kantor-kantor pemerintahan maupun swasta, meskipun berada di dalam ruangan ber-AC tapi para smoker tetap saja mengepulkan racun di sekitarnya. Orang-orang sekitarnya dipaksa untuk menghisap racun tersebut secara pasif. Di dalam bis kota dan tempat-tempat umum yang berisikan orang tua, orang sakit dan anak-anak, orang yang tidak bisa menahan hasrat merokoknya tiba-tiba kehilangan hatinya. Meskipun perokok tertentu berasal dari status sosial ekonomi dan pendidikan yang tinggi, kadang embel-embel ini tidak berlaku sebagai jaminan mereka akan tenggang rasa.
Belum lagi sampah kotoran (puntung dan abu) dari kegiatan merokok membuat 'kekotoran' tersendiri. The Smokers harusnya sadar bahwa kegiatan merokok sama sekali tidak ada gunanya.Buat yang tidak atau belum pernah merokok, saya himbau untuk tidak pernah mencoba. Buat yang sudah menjadi perokok, berhentilah secara perlahan dan mulailah hidup dengan udara bersih untuk diri kita sendiri dan lingkungan sekitar. Tidak ada alasan kuat untuk merokok. Mengapa harus merokok?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar