Aksi Tak Simpatik Rombongan Pengantar Jenazah
Semasa kanak-kanak, saya sering melihat iring-iringan rombongan pengantar jenazah di jalan raya yang menuju ke pemakaman. Mereka biasanya memakai mobil pribadi, bak terbuka, bus umum, dan tidak ketinggalan pula sepada motor. Rombongan itu selalu meminta jalan kepada pengguna jalan lain dengan cara “agak” memaksa.
Seakan mereka berkata,”Maaf, kami sedang berduka. Mohon minggir, beri kami jalan terlebih dahulu!”. Bahkan tidak jarang, gaya mereka sangat ugal-ugalan. Peraturan lalu lintas lenyap dan tidak berlaku sementara buat mereka.
Sosa kecil sering bertanya polos dalam hati,” Kan yang diantar sudah meninggal. Kenapa meski buru-buru? Kalaupun waktunya sudah mepet, kenapa waktunya tidak diatur lebih baik?”.
Pertanyaan itu kerap muncul setiap kali rombongan duka melintas di jalan raya. Jika melihat dan jalan saya terpaksa “diambil” oleh mereka, saya hanya bisa mendoakan agar lancar dan almarhum yang bersangkutan bisa diterima Sang Pencipta. “Ya, sudahlah..” guman saya untuk menghibur diri.
Sampai akhirnya pun saya dapat sedikit memaklumi mengapa rombongan itu selalu minta jalan terlebih dahulu. Paling-paling karena ingin cepat sampai di pemakaman saja. Jenazah pun bisa segera dikuburkan.
Namun apa yang menimpa diri saya, Senin (3 Nov 2007) kemarin, saya pikir sudah melewati batas toleransi.
Sekitar pukul 12.30 WIB, saya berada di persimpangan Rawasari dari arah Tanjung Priok ke arah Cawang. Saya sedang bersama Kak Ollie yang saya jemput dari sekolah. Saat lampu hijau akan menyala kurang dari 10 detik lagi, tiba-tiba terdengar raungan klakson dari arah belakang kanan.
Saya langsung melihat dari spion, ternyata adalah rombongan pengantar jenazah. Di barisan paling depan terlihat sekitar 5 buah sepeda motor yang langsung dengan sigap berhenti di tengah-tengah persimpangan. Mereka menghalangi seluruh pengendara kendaraan bermotor lain untuk lewat. Sementara itu, ada beberapa orang yang turun dari motor untuk memberi aba-aba kepada rombongan pengantar jenazah untuk jalan terus.
Namun saya benar-benar terkejut saat mendengar dari arah belakang suara teriakan salah satu orang dari rombongan itu yang berlari. Orang itu berlari sambil membawa tongkat yang dipasang bendera kertas berwarna kuning. Lebih dari itu, ia memukul-mukul dan menempelkan tongkat kayunya itu lalu menyeretkannya ke mobil-mobil yang sedang terdiam karena tidak boleh jalan.
Mobil saya termasuk yang mejadi sasaran. Bagian belakang atas dekat kaca belakang kanan menjadi saksi aksi brutal oknum tersebut. Perilaku orang tak bertanggung jawab itu meninggalkan goresan sepanjang 40 cm. Setelah berlari, orang tersebut langsung menuju sepeda motor yang memang sudah menantinya di tengah-tengah persimpangan. Sambil tertawa-tawa, mereka pun berlalu begitu saja.
Saya kontan murka tapi tak bisa berbuat apa-apa. Saya sempat ingin keluar untuk mengejar orang itu, tapi pikiran saya masih panjang. Di kursi belakang ada kak Ollie sendirian. Saya pun hanya bisa menelan ludah tanpa bisa berkata apa-apa. Orang-orang di sekeliling saya yang mobilnya juga menjadi sasaran juga terlihat geleng-geleng. Sungguh sikap tidak simpatik dari rombongan orang yang sedang berduka. Sangat tidak berpendidikan.
Beberapa bulan lalu, saya sempat melihat pengendara sebuah mobil mewah yang “berani tampil” menghadapi rombongan pengantar jenazah. Tampaknya pengendara itu merasa dirugikan oleh salah satu oknum dari rombongan. Terlihat perdebatan seru diantara pengendara mobil dengan sekelompok orang dari rombongan. Namun biasanya kalau mereka dimintai pertanggung jawaban, biasanya mereka akan berdalih,”Tolonglah pak, kita rakyat kecil”.
Kembali ke musibah yang menimpa saya, kak Ollie langsung bertanya kenapa orang tersebut bersikap begitu. Saya hanya menjawab singkat,”Itu orang gila!”. Setelah agak reda, saya menjelaskan kepada kak Ollie bahwa di Indonesia pada umumnya ada kebiasaan mengantar jenazah dengan beriring-iringan. Mereka biasanya meminta jalan kepada pengguna jalan yang lain. Namun sikap mereka yang tadi itu sangat tidak terpuji dan tidak perlu ditiru.
Sesampainya di rumah, saya masih kesal dengan orang itu. Namun tanpa saya duga, kak Ollie mencoba menenangkan saya. “Udah lah Pa. Jangan dipikirin lagi”,katanya. Akhirnya saya bisa tenang dan kembali untuk menghibur diri, saya hanya berguman, “Ya, sudahlah...”
Semasa kanak-kanak, saya sering melihat iring-iringan rombongan pengantar jenazah di jalan raya yang menuju ke pemakaman. Mereka biasanya memakai mobil pribadi, bak terbuka, bus umum, dan tidak ketinggalan pula sepada motor. Rombongan itu selalu meminta jalan kepada pengguna jalan lain dengan cara “agak” memaksa.
Seakan mereka berkata,”Maaf, kami sedang berduka. Mohon minggir, beri kami jalan terlebih dahulu!”. Bahkan tidak jarang, gaya mereka sangat ugal-ugalan. Peraturan lalu lintas lenyap dan tidak berlaku sementara buat mereka.
Sosa kecil sering bertanya polos dalam hati,” Kan yang diantar sudah meninggal. Kenapa meski buru-buru? Kalaupun waktunya sudah mepet, kenapa waktunya tidak diatur lebih baik?”.
Pertanyaan itu kerap muncul setiap kali rombongan duka melintas di jalan raya. Jika melihat dan jalan saya terpaksa “diambil” oleh mereka, saya hanya bisa mendoakan agar lancar dan almarhum yang bersangkutan bisa diterima Sang Pencipta. “Ya, sudahlah..” guman saya untuk menghibur diri.
Sampai akhirnya pun saya dapat sedikit memaklumi mengapa rombongan itu selalu minta jalan terlebih dahulu. Paling-paling karena ingin cepat sampai di pemakaman saja. Jenazah pun bisa segera dikuburkan.
Namun apa yang menimpa diri saya, Senin (3 Nov 2007) kemarin, saya pikir sudah melewati batas toleransi.
Sekitar pukul 12.30 WIB, saya berada di persimpangan Rawasari dari arah Tanjung Priok ke arah Cawang. Saya sedang bersama Kak Ollie yang saya jemput dari sekolah. Saat lampu hijau akan menyala kurang dari 10 detik lagi, tiba-tiba terdengar raungan klakson dari arah belakang kanan.
Saya langsung melihat dari spion, ternyata adalah rombongan pengantar jenazah. Di barisan paling depan terlihat sekitar 5 buah sepeda motor yang langsung dengan sigap berhenti di tengah-tengah persimpangan. Mereka menghalangi seluruh pengendara kendaraan bermotor lain untuk lewat. Sementara itu, ada beberapa orang yang turun dari motor untuk memberi aba-aba kepada rombongan pengantar jenazah untuk jalan terus.
Namun saya benar-benar terkejut saat mendengar dari arah belakang suara teriakan salah satu orang dari rombongan itu yang berlari. Orang itu berlari sambil membawa tongkat yang dipasang bendera kertas berwarna kuning. Lebih dari itu, ia memukul-mukul dan menempelkan tongkat kayunya itu lalu menyeretkannya ke mobil-mobil yang sedang terdiam karena tidak boleh jalan.
Mobil saya termasuk yang mejadi sasaran. Bagian belakang atas dekat kaca belakang kanan menjadi saksi aksi brutal oknum tersebut. Perilaku orang tak bertanggung jawab itu meninggalkan goresan sepanjang 40 cm. Setelah berlari, orang tersebut langsung menuju sepeda motor yang memang sudah menantinya di tengah-tengah persimpangan. Sambil tertawa-tawa, mereka pun berlalu begitu saja.
Saya kontan murka tapi tak bisa berbuat apa-apa. Saya sempat ingin keluar untuk mengejar orang itu, tapi pikiran saya masih panjang. Di kursi belakang ada kak Ollie sendirian. Saya pun hanya bisa menelan ludah tanpa bisa berkata apa-apa. Orang-orang di sekeliling saya yang mobilnya juga menjadi sasaran juga terlihat geleng-geleng. Sungguh sikap tidak simpatik dari rombongan orang yang sedang berduka. Sangat tidak berpendidikan.
Beberapa bulan lalu, saya sempat melihat pengendara sebuah mobil mewah yang “berani tampil” menghadapi rombongan pengantar jenazah. Tampaknya pengendara itu merasa dirugikan oleh salah satu oknum dari rombongan. Terlihat perdebatan seru diantara pengendara mobil dengan sekelompok orang dari rombongan. Namun biasanya kalau mereka dimintai pertanggung jawaban, biasanya mereka akan berdalih,”Tolonglah pak, kita rakyat kecil”.
Kembali ke musibah yang menimpa saya, kak Ollie langsung bertanya kenapa orang tersebut bersikap begitu. Saya hanya menjawab singkat,”Itu orang gila!”. Setelah agak reda, saya menjelaskan kepada kak Ollie bahwa di Indonesia pada umumnya ada kebiasaan mengantar jenazah dengan beriring-iringan. Mereka biasanya meminta jalan kepada pengguna jalan yang lain. Namun sikap mereka yang tadi itu sangat tidak terpuji dan tidak perlu ditiru.
Sesampainya di rumah, saya masih kesal dengan orang itu. Namun tanpa saya duga, kak Ollie mencoba menenangkan saya. “Udah lah Pa. Jangan dipikirin lagi”,katanya. Akhirnya saya bisa tenang dan kembali untuk menghibur diri, saya hanya berguman, “Ya, sudahlah...”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar