Selasa, 25 September 2007

Saatnya Meninggalkan Kompetisi Ala Tarkam

Saatnya Meninggalkan Kompetisi Ala Tarkam

Kompetisi sepakbola Indonesia adalah kompetisi terbesar di dunia. Betapa tidak? Kompetisi ini melibatkan 36 klub yang bersaing di Divisi utama, sebuah level tertinggi. Itu baru secara kuantitas. Bagaimana jika kita berbicara dari sisi kualitas?

Kualitas kompetisi sebenarnya agak susah untuk diukur. Berdasarkan hasil diskusi dengan banyak kolega saya, secara singkat ada beberapa parameter yang diyakini untuk menilai baik buruknya sebuah kompetisi.

Pertama, syarat mutlak kompetisi bisa dikatakan berkualitas adalah profesionalisme. Dalam kompetisi itu sendiri pun memiliki competitive value yang kuat. Competitive value akhirnya berbuah nilai jual sebuah kompetisi. Mulai dari banyaknya pemain bintang yang bertarung di lapangan, nilai sponsor yang menjulang tinggi, penonton yang membludak, dan pastinya persaingan yang seru itu sendiri. Untuk menjaga itu, pihak otoritas sepakbola pastinya berusaha keras untuk menjaga agar selling point tidak berkurang. Yang dilakukan adalah kompetisi yang well organized dan menegakkan aturan main dengan benar.

English Premiere League (EPL) adalah salah satu yang terbaik. Meski timnas-nya miskin prestasi, Major League Soccer (MLS) di Amerika Serikat adalah juga contoh yang baik. Bukan tidak mungkin MLS akan mampu bersaing dengan kompetisi di Eropa yang lebih dahulu memiliki tradisi.

Kedua, beberapa kolega saya meyakini bahwa sebuah kompetisi yang berkualitas bermuara pada prestasi tim nasional (timnas) yang tokcer. Semakin bagus prestasi timnas maka bisa dikatakan kompetisi sudah berjalan dengan sukses. Para kolega saya itu mengatakan bahwa timnas pastinya berasal dari pemain-pemain yang berlaga di kompetisi domestik. Dengan kompetisi yang baik maka buah yang bisa dipetik adalah pemain yang berkualitas pula.

Namun bagaimana jika materi pemain timnas mayoritas berasal dari kompetisi di luar negeri? Sebenarnya kualitas kompetisi sebenarnya tidak selalu berbanding lurus dengan prestasi timnas. Kompetisi yang tidak teratur, regulasi yang sering berubah, dan keadaan yang selalu darurat bisa saja menghasilkan timnas yang berkualitas. Sebagai jawara Asia 2007, Irak paling tidak berhasil membuktikan hal itu.

Dari dua pendapat di atas, pertanyaan selanjutnya adalah berada dimanakah kita?
Jika muaranya adalah prestasi timnas, apakah kita sudah meraih hasil maksimal? Target menembus perempat final Piala Asia tidak tercapai. Prestasi timnas sejatinya adalah cerminan dari kualitas kompetisi yang digulirkan. Mengandalkan persiapan yang minim dan dukungan suporter yang luar biasa, kita pun bisa lihat kualitas stamina yang kedodoran dan pelanggaran secara teknis yang keras oleh para pemain kita.

Kompetisi kita pun belum bisa dikatakan kompetisi yang murni profesional. Musim ini klub-klub plat merah, masih tetap mendapat kucuran dana APBD. Secara infrastruktur hampir semua klub belum kuat secara finansial. Kualitas stadion sebagai ‘panggung pertunjukannya” juga belum standar.

Pemukulan pemain terhadap wasit, sikap pemain yang tidak manner, ulah suporter yang brutal, ketidaktegasan otoritas sepakbola dalam regulasi, dan pelanggaran keras yang menjurus kasar tapi tidak ditindak dengan sesuai adalah sekilas dari wajah kompetisi kita. Kompetisi yang kita saksikan di stadion ataupun lewat layar kaca tak ubahnya kompetisi tarkam (tarikan kampung) yang dibungkus kemasan level nasional.

Itu baru dari segi prestasi. Jika kita memang bisa menyelenggarakan kompetisi yang well organized, sudah bisa dipastikan kita bisa sukses 100 % sebagai tuan rumah Piala Asia 2007. Faktanya, banyak sekali kekurangan yang terjadi. Masalah tiket, lapangan latihan yang tidak standar, padamnya lampu SUGBK,dan lain-lain. Sekali lagi, ini adalah cermin dari kompetisi yang kita miliki.

Intinya kita memang belum bisa memutar kompetisi yang berkualitas. Kita masih ketinggalan dibandingkan dengan Liga Malaysia meski dari segi animo tidak sehingar-bingar Liga Indonesia.
Belum ada kata terlambat untuk perbaikan. Menuju Liga Super musim depan, (ini pastinya klise) sebaiknya evaluasi secara menyeluruh mutlak harus dilakukan. Dalam kondisi dalam negeri yang lebih aman dibanding Irak, harusnya kita bisa memutar kompetisi jauh lebih baik. Jangan sampai dengan label Liga Super, kualitas kompetisi masih tetap saja tarkam.

Tidak ada komentar:

Arsip Blog