Selasa, 25 September 2007

Irak, Indonesia dan Keajaiban di Piala Asia 2007

Irak, Indonesia dan Keajaiban di Piala Asia 2007

Akhirnya Irak berhasil mencetak sejarah dengan menjadi juara Piala Asia 2007. Gelar kampiun ini dipastikan Younis Mahmoud cs. setelah mereka berhasil memukul Arab Saudi 1-0 dalam laga final yang berlangsung di Stadion Gelora Bung Karno (SUGBK), Jakarta, Minggu malam (29/7). Sebuah keberhasilan yang luar biasa jika kita melihat keadaan ‘Negeri 1001 Malam’ itu yang kini sedang porak-poranda akibat perang.
Fenomena Irak adalah puncak dari keajaiban dunia yang terjadi pada turnamen paling akbar di Asia itu. Keajaiban? Ya, bisa dikatakan demikian jika kita melihat rentetan peristiwa yang terjadi sebelum dan selama turnamen di empat negara Asia Tenggara itu berlangsung.
Saat Indonesia ditunjuk sebagai tuan rumah Piala Asia 2007 bersama Malaysia, Thailand dan Vietnam, bisa dikatakan sebagai salah satu keajaiban dunia. Mengapa tidak? Selain waktu penyelenggaraan yang dimajukan satu tahun, dari semula 2008 karena takut kalah gebyar dari Euro 2008, baru pertama kali di dunia sebuah turnamen sepakbola antar negara diadakan di empat negara sekaligus.
Sekedar sedikit catatan, biasanya turnamen sepakbola antar negara dilakukan di satu atau paling tidak dua negara. Pada Euro 2000, Belanda-Belgia bertindak sebagai tuan rumah. Lalu Piala Dunia 2002 (Jepang-Korea). Serta yang akan datang adalah Euro 2008 (Austria-Swiss).
Kabarnya salah satu pertimbangan utama AFC memilih empat negara sekaligus adalah tingginya animo penonton, terutama Jakarta, yang datang ke stadion. Kekuatan pasar di empat negara Asia Tenggara ini menjadi daya tarik utama. Atau mungkin juga AFC ingin mencatatkan diri dalam rekor sejarah penyelenggaran turnamen sepakbola di dunia?
Memilih empat negara sekaligus sebagai tuan rumah adalah hal yang luar biasa. Namun kita semua tahu, setelah turnamen digelar dan berlangsung, belakangan AFC ternyata tidak 100 % benar dengan keputusannya itu. Presiden AFC, Mohamed bin Hammam tampak kecewa dan menyatakan bahwa penyelenggaraan tuan rumah dengan 4 tuan rumah sekaligus adalah yang pertama dan sekaligus yang terakhir. Sikap sang dedengkot AFC itu jelas didasari oleh sejumlah keajaiban yang terjadi selama turnamen berlangsung.
Dari awal hanya Vietnam yang paling antusias menyambut hadirnya Piala Asia (ini sebanding dengan prestasi mereka yang akhirnya lolos ke babak berikutnya). Sementara Indonesia ( baca: PSSI) jelang Piala Asia dimulai justru sibuk dengan Munas-nya di Makasar. Padahal salah seorang petinggi PSSi pernah mengatakan jika timnas kita tidak bisa berprestasi, paling tidak secara penyelenggaraan kita sukses. Hasilnya?
Jika banyak pihak yang menyatakan kita sukses sebagai penyelenggara dengan tolok ukur penonton yang membludak di SUGBK, rasanya kita juga jangan menutup mata dengan kekurangan yang kita miliki. Tampaknya kita kurang bisa memaksimalkan gebyar sepakbola level internasional itu sebagai ajang yang langka kita miliki. Kita tetap harus belajar banyak dari kekurangan yang ada.
Kita bisa lihat bagaimana kita kurang siap menjadi tuan rumah. Mulai dari promosi dan marketing yang kurang maksimal. Gema dasyat pesta sepakbola terbesar di Asia ini hanya mulai terasa seminggu sebelum pembukaan digulirkan di Thailand.
Kemudian muncul protes dari tim-tim yang berada di grup D atas kualitas lapangan latihan yang buruk, persoalan tiket yang belum beres hingga partai terakhir di grup D, sehingga sempat terjadi tindakan anarkis di seputar SUGBK dan yang paling heboh adalah padamnya lampu di SUGBK saat laga Korea Selatan versus Arab Saudi yang mendapat kecaman dari banyak pihak.
Kejadian langka (bisa dikatakan ajaib juga), padamnya lampu stadion selama 25 menit saat pertandingan memasuki menit ke-84 jelas merugikan banyak pihak. Waktu pertandingan jadi molor dan mood penonton serta pemain jadi turun. Bahkan Pim Veerbek, pelatih Korea Selatan secara tegas menyatakan kekecewaannya atas insiden itu. Untung saja hasil imbang akhirnya membuat kedua tim bisa menerima keadaan ini.
Semuanya terjadi karena kita kurang siap. Dengan persiapan yang baik, segala kekurangan itu tidak akan ada. Itu saja.
Kembali ke Irak, memang banyak yang bisa diambil dari pengalaman mereka merengkuh gelar tertinggi pertamanya di Asia. Dengan persoalan multi dimensional dan belum stabilnya keamanan di sdalam negeri, mereka bisa membuktikan bahwa dengan rasa persatuan yang kuat, sepakbola bisa dijadikan sebagai jalan menuju perdamaian dan persatuan semua rakyat Irak.
Sama seperti Indonesia yang dilatih Ivan Kolev (Bulgaria), mereka dibesut oleh Jorvan Vieira (Brasil) yang hanya diberi waktu kurang lebih 2 bulan untuk mempersiapkan timnya. Irak pun dibelit masalah sulitnya mengumpulkan pemain, baik dari domestik maupun yang bermain di luar Irak. Belum lagi komposisi skuad yang berasal dari unsur-unsur yang bertikai di Irak. Mereka pun harus melakukan persiapan dengan berpindah-pindah tempat di luar Irak.
Hasilnya sangat berbeda. Irak tampil di pembukaan dan juga menutup turnamen ini dengan senyum lebar. Australia mereka libas 3-1, Korea Selatan dibungkam 4-3 lewat adu pinalti, dan terakhir memupus hasrat son of the dessert, Arab Saudi mencetak juara ke-4 kalinya.
Sungguh perjuangan yang luar biasa dan keajaiban akhirnya mereka dapatkan. Keajaiban bagi sebuah tim yang kondisi bangsanya babak belur. Selain harus belajar banyak dalam menyelenggarakan event level internasional, kita juga harus mau belajar dari Irak, penguasa baru Asia.
Apa yang dicapai tim Merah Putih sudah maksimal. Persiapan yang kurang dirasakan banyak pihak sebagai kendala utama. Meski dalam waktu singkat, Ivan Kolev telah menyulap timnas Indonesia menjadi momok yang menakutkan lawan-lawannya.
Dengan jargon ‘Ini Kandang Kita’, tim Merah Putih mendapatkan dukungan luar biasa dari suporter kita. Mereka pun bertanding bak pahlawan bangsa. Bahrain berhasil ditekuk 2-1 di laga perdana. Ini yang menjadi tolok ukur bahwa dukungan suporter dan mental bertanding yang berlipat, membuat banyak orang yakin kita bisa lolos dari babak penyisihan.
Namun kita seperti ‘kehabisan bensin’ menghadapi partai-partai berikutnya. Hasil yang sudah dicapai Bambang Pamungkas Cs lebih baik, setidaknya bukan menjadi juru kunci. Apalagi jika kita mengingat kembali bahwa target awal kita berlaga di turnamen ini adalah tidak menjadi bulan-bulanan tim-tim raksasa Asia. Kita semua bangga dengan apa yang telah mereka lakukan.
Dukungan dahsyat dari pendukung dan semangat nasionalisme saja sangat kurang untuk bisa menghadirkan keajaiban seperti yang dialami oleh Irak. Proses panjanglah yang menentukan jika kita ingin memetik hasil dari yang kita raih saat ini.
Proses perjuangan panjang yang dimaksud adalah organisasi yang baik dan sehat tentunya akan menghadirkan kompetisi yang bermutu dan teratur. Ini adalah modal yang tidak bisa ditawar-tawar.
Kita seperti mengharapkan keajaiban dengan proses yang singkat. Kita tidak bisa memetik hasil dari proses yang singkat tanpa perjuangan yang panjang dan melelahkan. Jika kita sudah melewati tahap-tahap seperti yang sudah dilewati Irak, niscaya keajaiban tidak akan sungkan hinggap pada kita.

Tidak ada komentar:

Arsip Blog