Rabu, 07 Februari 2018

SABAR TIDAK HARUS MENUNGGU TUA*

SABAR TIDAK HARUS MENUNGGU TUA*

"Sabar ya, Ver...sabar...kita harus bersabar dalam menghadapi cobaan hidup ini..." Arif mencoba menenangkan Vera, teman kuliahnya.

"Gimana mau sabar, Rif, kamu kan tahu? Si Novi itu sahabatku yang paling dekat, kok tega-teganya dia ngatain aku seperti itu, huuh...keterlaluan."

"Aku tahu, Ver, ini memang keterlaluan," sahut Arif. "Namun, kita harus bisa menerima dan sabar dalam menghadapinya."

"Sabar, sabar...dari tadi kamu bilang sabar dan sabar...tapi bagaimana caranya...?"

Barangkali kita semua pernah mendengar hal serupa. Setiap kali ada teman atau saudara kita yang sedang marah atau sedih, yang dapat kita lakukan adalah menasihatinya dengan kata "sabar". Namun, jarang sekali ada orang memberi tahu bagaimana caranya untuk bersabar. Kebanyakan dari kita hanya berhenti di sini, jika ditanya, "Sabar itu bagaimana?" Jawabannya, "Ya, harus dapat menerima," titik sampai di sini.

Banyak sekali di sekitar kita percaya bahwa sabar adalah sifat yang dibawa sejak lahir. Sebagian lagi percaya jika orang bisa sabar jika usianya sudah mulai tua. Salah seorang teman saya berkata, "Sabar bisa didapat jika seseorang sudah banyak mendapat cobaan hidup yang berat."

Tidak ada yang salah jika ada orang yang berpendapat seperti itu. Namun, saya juga percaya jika kita dapat belajar dari orang-orang yang terbukti sabar. Lalu, jika kita gunakan ilmu yang sama, pasti kita akan menjadi orang yang sabar juga sehingga kita tidak harus menunggu tua atau mengalami ujian berat untuk dapat sabar. Bukankan begitu?

Dalam perjalanan panjang melalui perenungan dan belajar dari guru-guru dunia, baik secara langsung atau melalui karyanya, secara singkat dapat saya simpulkan, bahwa mereka yang sabar dan yang tidak sabar hanya dibedakan oleh satu hal, yaitu program atau kata-kata yang tertanam dalam otaknya.

Mungkin contoh di bawah ini akan membuat lebih jelas.

Amir mempunyai program kata-kata dalam dirinya, "Jika orangtua saya dihina maka orang yang menghina itu akan saya peringatkan. Jika setelah itu masih menghina maka saya akan menghajarnya."

Bandingkan dengan Budi yang mempunyai program sebagai berikut, "Jika ada yang menghina ibu saya, saya akan peringatkan. Jika masih membandel maka saya akan anggap dia orang gila."

Bayangkan jika ada yang menghina orang tua Amir, apa yang terjadi? Bertengkar atau bahkan bisa bunuh-bunuhan. Bandingkan jika hal yang sama terjadi pada Budi, Budi dengan tenangnya akan melenggang dan menganggap bahwa yang menghina ibunya hanyalah orang gila.

Amir bisa berurusan panjang dengan polisi dan penjara pun menantinya. Belum lagi dendam yang akan dibawa dalam hatinya, sedangkan Budi sudah sampai di rumah dan sudah lupa akan peristiwa tadi.

Teman, sedikit perbedaan dalam program di kepala kita ini dapat membuat perbedaan tindakan yang sangat signifikan, yang mungkin sekali berpengaruh dalam hidup ini. Bahkan nasib kita pun dapat ditentukan dari sini.

Jika kita pikir kembali, sering kali kita tidak tahu darimana program atau kata-kata ini ada dalam benak kita, tahu-tahu itu sudah ada dalam otak kita.

Tak dapat dipungkiri, faktor eksternal sangat mempengaruhi program-program tersebut. Tanpa kita sadari, semakin lama ini menjadi semakin kuat mendekam dalam alam bawah sadar kita, dan lama-kelamaan menjadi keyakinan yang sangat kuat.

Mungkin sekali keyakinan ini muncul karena pengalaman orang lain yang kita dengar atau kita lihat. Atau dapat juga dari nilai-nilai dalam masyarakat sekitar kita. Bila kita tinggal di Solo, mungkin saja akan sangat berbeda dengan bila kita dibesarkan di Madura.

Misalnya, suatu hari si Iwan berada di halte bus dan tiba-tiba seseorang lewat dan meludah persis di depan kaki Iwan, apa reaksi Iwan? Mungkin sekali Iwan akan marah. Namun, jika kejadian ini terjadi di sebuah negara di Afrika, tempat dimana jika dua orang bertemu mereka akan saling meludah, akan berbeda artinya.

Ludah adalah ludah, tidak mempunyai arti apa-apa, program di kepala kitalah yang akan memberi arti dan yang mengakibatkan kita bereaksi atau bertindak.

Orang yang dikatakan tidak sabar mempunyai kata-kata di dalam dirinya, jika ada orang meludah di depan saya, itu artinya sama dengan menghina saya. Sedangkan orang yang sabar pasti punya program dan arti yang lain.

Lalu bagaimana caranya jadi orang sabar? Ganti saja programnya!

Apa mungkin? Sangat mungkin, kenapa tidak? Jika kemarin kita masukkan program secara tidak sadar, kini setelah kita tahu, kita dapat memasukkannya dengan sadar. Setiap manusia mempunyai kemampuan ini, tanpa kecuali! Sebuah kemampuan secara intelektual yang tidak dipunyai makhluk lain. Memang tidak akan secepat membalik tangan, hal ini perlu latihan juga, sama seperti otot yang menguat karena dilatih, otak kita pun perlu dilatih untuk menjadi kuat.

Mulailah dari hal-hal kecil.

Sama seperti jika kita ke gym atau fitness center, beban yang kita angkat tidak akan langsung yang berat, tetapi yang ringan-ringan dulu. Jika kita harus bersepeda untuk pemanasan, kita pun harus pelan-pelan dulu dan tidak boleh terlalu lama. Sekarang, cobalah cari dalam kehidupan Anda sehari-hari, hal-hal kecil yang membuat Anda marah atau merasa tidak nyaman. Kemudian tanyakan pada diri sendiri, program atau kata-kata apa yang ada dalam benak saya yang membuat saya marah. Kemudian dengan sadar, carilah program yang lebih baik atau gantilah dengan kata-kata yang membuat Anda merasa nyaman.

Pengalaman saya dalam menyetir mobil di Jakarta mungkin dapat dijadikan contoh di sini.

Pada awalnya saya begitu stress, cepat naik darah, uring-uringan sendiri sewaktu mengemudikan mobil di Jakarta. Saya biasanya menghabiskan waktu dengan membaca buku sewaktu menunggu lampu lalu-lintas, dan sesaat sebelum lampu hijau menyala, mobil di belakang saya sudah membunyikan klakson dengan panjangnya. Bunyi klakson inilah yang membuat saya naik pitam, "Huuuuhhh, belum juga hijau sudah ngebel...heran deh," dan tak jarang kalimat makian ikut keluar.

Bel itu saya artikan sebagai teriakan bahwa saya orang yang lambat, tidak siap dan bego. Setelah saya paham bahwa yang membuat saya marah sebenarnya bukan bel tersebut, tetapi program yang sudah tertanam dalam diri saya, perlahan-lahan saya mengubahnya dengan kata-kata yang lebih baik.  Saya mengubahnya dengan kata-kata, "Hai, teman, sebentar lagi lampu akan hijau, mari kita jalan, yuuuk!"

Awalnya memang berat dan agak terasa aneh sama seperti pada saat fitness atau olahraga lainnya. Awalnya badan akan sakit, letih, dan tidak nyaman, tetapi setelah latihan beberapa kali, Anda akan terbiasa.

Sekarang, setiap bel saya dengar di lampu merah atau di tengah jalan, semuanya terdengar seperti sapaan seorang sahabat lama, sangat indah. Sampai-sampai sering saya tersenyum dan berucap, "terima kasih."


*Dikutip dari buku "Happiness Inside" karya Gobind Vashdev

Tidak ada komentar:

Arsip Blog