Selasa, 18 Agustus 2009

Mari Memaknai Kemerdekaan Secara Bebas

Mari Memaknai Kemerdekaan Secara Bebas

Kembali kita merayakan peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia seperti tahun-tahun sebelumnya. Tidak banyak yang berbeda, semuanya seperti mengulang tradisi perayaan yang penuh kemeriahan dan kental dengan nuansa seremoni hiburan. Jika pun kita kita ingin mendapatkan suasana hikmat, kita sebaiknya perlu merapatkan diri ke upacara bendera,baik pengibaran maupun penurunannya.

Ada dua kata yang terbersit dalam benak saya, setelah seharian melewati hari kemarin, 17 Agustus 2009. Kata-kata ‘merdeka’ dan ‘hiburan’ demikian sering terdengar di telinga, muncul di pandangan, dan kuat di perasaan saya.

Mayoritas orang memekikkan kata merdeka dengan tanda seru. Seperti berada di perang kemerdekaan, kata itu demikian mudah ucapkan, bahkan diteriakkan. Tampaknya kita masih doyan bernostalgia dengan sejarah. Kata merdeka yang sering diucapkan lebih dipakai sebagai media kembali ke masa-masa heroik pendiri bangsa dalam masa awal-awal berdirinya republik ini.

Bagaimana dengan relevansi kemerdekaan itu sendiri dalam konteks masa kini? Kita kerap menempatkan kemerdekaan dalam konteks historis saja. Demi faktor sentimentil kita kembali mengucapkan kata itu setahun sekali saja. Seakan kita tidak hidup dan berada di masa dimana memang kita sedang berjuang. Untuk sehari-hari? Banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan untuk memang benar-benar merdeka.

Apakah memang kita sudah merdeka? Merdeka dari penjajahan fisik era 40-an, iya. Sekarang penjajahan model baru demikian nyata dan kejamnya dibanding saat kita meraih berhasil lepas dari kolonialisme 64 tahun lalu. Setiap kali kita memperingati hari kemerdekaan, setiap kali pula penjajahan model baru itu terasa semakin nyata dan kuat.

Kita belum bebas dari campur tangan asing yang mengobok-ngobok kedaulatan kita, baik politik, ekonomi, dan budaya. Belum lagi kemerdekaan yang hakiki yang harusnya dimiliki oleh semua warga Negara di Negara merdeka ini, yakni kemerdekaan berpikir dan bersikap.

Kata kedua : Hiburan. Iya, tidak ada kata lain selain hiburan. Tampaknya kita tidak pernah jauh dari kata hiburan dalam memaknai kemerdekaan. Perayaan kemerdekaan tanpa hiburan, ibarat sayur tanpa garam. Semuanya harus meriah. Mulai dari panggung gembira, aneka lomba, pemecahan rekor dan kemeriahan lainnya.

Saya tidak anti hiburan. Saya juga penikmat hiburan. Namun yang perlu digaris bawahi di sini adalah kita pun harus tetap sadar untuk tidak selalu menjadikan hiburan sebagai menu wajib memaknai kemerdekaan. Kita sudah terbiasa dan bangga dengan kegiatan simbolik yang punya kadar nilai esensi rendah terhadap kemerdekaan itu sendiri.

Biaya raksasa yang dibutuhkan untuk perhelatan acara sombolik kolosan itu, seakan tidak bisa dibandingkan dengan pencapaian dan sukses acara yang dilakukan. Naif benar. Sementara bangsa ini masih sangat butuh banyak biaya. Kita masih tuli, buta dan tidak peka.

Semuanya sudah berjalan selama ini. Semuanya punya cara masing-masing memaknai kemerdekaan. Pada gilirannya kita dihadapkan oleh pilihan untuk terus berada di ‘arus besar’ perayaan kemerdekaan atau kita mencoba untuk memaknai kemerdekaan secara bebas sesuai dengan hati nurani kita masing-masing. Hati nurani bangsa yang belum merdeka.

Tidak ada komentar:

Arsip Blog