Black Friday, MU, dan Harapan
Setelah segala sesuatu buruk terjadi barulah kita menyadari bahwa kita memang sudah melakukan kelalaian. Tidak berlebihan rasanya kalimat itu diletakkan di awal tulisan ini. Seperti tidak diduga sebelumnya, teror bom sudah terlanjur terjadi. Dua Bom yang meledak saat matahari belum tinggi di Hotel J.W. Marriott dan Ritz Charlton, Jum’at 17 Juli 2009, itu benar-benar menghentakkan banyak pihak. Mulai dari petinggi negeri, pencinta sepakbola, hingga masyarakat awam. Black Friday di pertengahan Juli ini bagi kita semua.
Saat mendengar berita ledakan bom ‘Kuningan II’ lewat radio, sontak saya langsung terpikir oleh Manchester United (MU) yang dijadwalkan menginap di sana jelang laga persahabatan lawan Indonesian All Star, Senin, 20 Juli 2009. “MU pasti batal datang ke sini”, guman saya langsung menanggapi berita singkat di radio itu. Spontan tapi logis. Katakanlah ledakan bukan terjadi di ‘home base’mereka, tapi di tempat lain di Jakarta dan sekitarnya, mereka pasti tetap akan berpikir seribu kali untuk terbang ke sini. Apalagi ini terjadi di tempat yang akan mereka pakai beristirahat.
Dengan tidak bermaksud menyalahi peran intelijen kita, seolah kita berada dalam zona nyaman sebelum kejadian tragis ini terjadi. Hiruk pikuk menyambut MU menimbun rasa waspada kita akan ancaman yang akhirnya memupus mimpi yang beberapa hari menjadi kenyataan itu. Meski jauh dari ibukota, Indonesia nyatanya sedang digoyang kasus Freeport di Papua yang masih kelam. Kondisi yang kondusif tapi tidak kondusif pasca pemilihan presiden juga suka atau tidak suka adalah ancaman laten yang invisible. Semua terasa aman dan terkendali berdasarkan asumsi sementara yang tidak jelas ukurannya.
Usaha pihak teroris mengacaukan keadaan pada titik dampak pukulan psikologis sangat berhasil. Katakanlah dalam konteks MU dan usaha teroris mengacaukan keadaan, sangat mungkin ada beberapa titik lagi yang menjadi kandidat serangan, seperti; Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), Bandara Soekarno-Hatta, dan Kedubes Inggris. Tidak sulit akhirnya untuk menganalisa mengapa mereka menjadikan dua hotel mentereng di Jakarta itu sebagai target serangan bom. Dua hotel dengan bandrol Amerika Serikat sekaligus tempat menginap MU, tentunya kan membuat hasil serangan efektif. Saya heran sekali mengapa kita bisa kecolongan menjaga 2 tempat strategis itu?
Balik lagi ke soal pembatalan MU ke Jakarta. Jelas pertimbangan tur mereka ke Jakarta karena alasan keamanan semata. Bagaimana efek bom benar-benar memukul mental punggawa MU beserta offisial. Belum lagi pasangan dan keluarga mereka yang ikut dalam rombongan. Kita harus dengan besar hati menerima bahwa ini adalah langkah bijaksana dan yang terbaik dalam situasi seperti sekarang ini.
Namun kita seakan belum menerima kenyataan bahwa kita memang tidak aman. Yang paling lucu lagi adalah pernyataan beberapa pihak yang menyayangkan sikap MU dan mengharapkan laga tetap digelar sebagai bukti bahwa kita sebenarnya aman. Semoga itu hanya pernyataan pribadi yang akibat dorongan emosional semata, tidak dilandasi oleh akal sehat. Kita bisa bicara begitu karena kita tidak berada di pihak MU. Kita seakan picik melihat masalah ini. Mungkin karena sudah kadung harus melihat MU main di SUGBK.
Harapan yang sudah harus dipegang erat-erat adalah bagaimana kita meningkatkan kewaspadaan terhadap ancaman serupa di masa datang. Jangan pernah kita terbuai dengan comfort zone yang tercipta di atas ancaman laten yang tak terlihat. Kita pun mengecam tindakan teroris yang pengecut dan hanya merugikan bangsa Indonesia. Tidak ada kompromi kepada para pelaku kekerasan dan anarki. Stop kekerasan dalam bentuk apapun sekarang juga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar