Rabu, 04 Februari 2009

Masih Soal Reality Show

Masih Soal Reality Show

Iya, masih soal reality show (RS) yang tetap menggangu saya sebagai penonton maupun masyarakat pada umumnya. Saya pernah menulis mengenai hal ini. Kembali saya (harus) menulisnya.

Apa yang menjadi dasar production house (PH) atau stasiun TV yang memproduksi RS dapat melakukan banyak hal yang sebenarnya mengganggu privasi orang lain? Mengapa ketika ada orang yang terganggu privasinya dan berhak marah kepada host dan kru RS, tetapi justru host dan kru RS-nya yang lebih ngotot dan marah?

Jika kita mau berbaik sangka, PH atau TV melakukan hal demikian dengan dasar ingin menolong pihak-pihak yang memang datang kepadanya mencari bantuan,sesuai acara RS yang bersangkutan. RS tampil sebagai alternatif pemecahan masalah alias pencari solusi di masyarakat kita. Setidaknya, RS pun bisa meringankan beban dari orang-orang ‘bermasalah’. Selain tampil ‘gratis’ di TV, orang - orang itu mungkin melihat peluang keberhasilan dari apa yang ingin dicari atau dipecahkannya.
Itu baru dari sisi orang yang meminta atau mencari bantuan. Dari sisi penonton alias konsumen tayangan televisi, RS mengemban misi penyebarluasan informasi dan pengetahuan akan realita sosial di masyarakat, yang dimana penonton berada di dalamnya. Meski kita pun harus sadar dan tidak asal melahap tayangan yang sangat mungkin penuh rekayasa, padahal namanya memakai embel-embel ‘reality’
Tetapi yang perlu diingat dan digarisbawahi adalah tidak ada sebuah kekuatan hukum yang mengatur bahwa RS bisa melakukan apa saja meski dasarnya adalah menolong orang (klien). Melakukan apa saja disini adalah seperti; melakukan pengintaian, mata-mata, pencarian informasi ala detektif, melibatkan pihak-pihak yang tidak kepingin masuk TV, dan lain-lain.
Jika kita mau berburuk sangka, apa yang dilakukan PH dan TV dengan RS-nya tidak lebih dari usaha mengeruk uang berkemasan tayangan yang penuh sentuhan emosional bagi penontonnya. Akui saja, sebagai industri, TV jelas butuh uang yang akhirnya menggunakan cara-cara yang bisa jadi tidak berkenan buat sebagian masyarakat. RS dengan label ‘media’-nya, seakan sudah lebih dari cukup untuk menjustifikasi apa pun yang mereka lakukan. Lalu dimana kemudian yang namanya kode etik?
Posisi RS sebagai bagian dari media TV,pada akhirnya harus tetap menjunjung tinggi hak-hak orang lain. Mereka harus berpikir bagaimana jika apa yang mereka lakukan juga akan terjadi pada diri mereka, orang terdekat atau siapa saja. Demikian pula masyarakat, anehnya masyarakat kita justru ‘doyan’ dengan acara seperti RS yang demikian.
Masyarakat sebagai penonton jangan hanya menjadi obyek saja. Sudah saatnya penonton tampil sebagai variabel kontrol berbagai tayangan RS yang tidak mendidik dan beraroma rekayasa. Langkah kritis konsumen acara TV itu salah stunya dengan memberikan kritik dan saran melalui media atau surat terbuka. Semuanya demi perbaikan kualitas acara , baik secara teknis, moral maupun esensi.
Memang ada yang namanya Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), tapi lihat saja apa yang mereka lakukan terhadap (Alm) Empat Mata. Setalah dibredel, pengelola TV bersangkutan kembali ‘membangkitkan’ Empat Mata meski namanya berubah menjadi Bukan Empat Mata. Sebuah pelecehan terhadap KPI?
RS harus lebih dewasa dan menghargai hak orang lain. Buatlah RS yang lebih mengutamakan aspek pembelajaran kepada masyarakat tanpa harus menyisihkan hak-hak anggota masyarakat yang lainnya.

Tidak ada komentar:

Arsip Blog