Kualitas Layanan Bus Transjakarta (Memang Jelas) Turun
Tanpa tambahan kata-kata dalam kurung, begitulah judul salah satu berita di halaman 26, Harian Kompas, hari ini (Jum’at 16 Januari 2009). Saya pikir buat semua pengguna jasa mass rapid transportation (MRT) terbaik yang dimiliki oleh Indonesia ini, pernyataan dari judul tersebut ibarat penyambung lidah keluhan mereka selama 5 tahun terakhir ini.
“Dari tahun ke tahun kualitas pelayanan bus Transjakarta bukannya semakin membaik, tetapi justru sebaliknya” kata Darmaningtyas, ketua Institut Studi Transportasi (Instran), seperti dikutip dari Harian Kompas. Beberapa poin penting layanan yang terabaikan dan semakin memburuk adalah; waktu tunggu yang harusnya 5 menit menjadi 25 menit, penumpang berdesak-desakan, tidak ada moda angkutan pengumpan (feeder) yang aman, dan pengelolaan yang kurang profesional.
Saya sengaja tambahkan embel-embel ‘memang jelas’ dalam kurung sebagai unsur yang mempertegas betapa tidak seriusnya para pengelola transportasi dalam memberikan pelayanan yang terbaik buat konsumennya. Dari semua masalah yang menghinggapi bus Transjakarta yang paling kentara sekali adalah tata kelola yang jauh dari profesional.
Profesional disini artinya memang harus benar-benar bermental untuk memberikan yang terbaik tanpa cacat kepada konsumen. Profesional secara utuh dan menyeluruh. Baik mulai dari pengelolaan bus, koordinasi dengan pihak lalulintas terkait, hingga perawatan SDM yang ada. Pada awal-awal pengoperasiannya, kesan teratur dan ‘berbeda’ dengan bus regular demikian terasa. Minggu lalu saya menggunakan bus Transjakarta, informasi halte perhentian selanjutnya saja sudah tidak ada lagi. Saat liburan akhir tahun 2008, banyak bus Transjakarta yang tidak beroperasi. Akibatnya penumpang menumpuk di halte berjam-jam!
Kita pun bisa melihat bagaimana kondisi fisik bus Transjakarta yang seharusnya dirawat secara ekstra, ternyata setengah tingkat lebih baik dari kondisi fisik bis AC regular. Bahkan saya melihat ada yang berada di bawahnya. Padahal salah satu keunggulan yang dijual oleh bus Transjakarta adalah kenyamanan yang berbeda dibanding dengan bis regular.
Halte-halte kurang terurus dengan baik. Beberapa halte terkesan kumuh, kotor dan mirip dengan bedeng yang beralumunium. Dulu, pintu masuk dan keluar selalu ditutup dan akan terbuka secara otomatis saat bus datang. Kini banyak sekali pintu otomatis itu menganga lebar permanen, tidak peduli ada bus atau tidak.
Dengan kondisi yang jauh dari harapan semula akan moda transportasi ini, bukan tidak mungkin bus Transjakarta akan menjadi bulan-bulanan kritik dan sampah uneg-uneg para penumpangnya. Bahkan pihak-pihak yang secara langsung atau tidak dirugikan oleh kehadiran bus Transjakarta akan melihat bahwa tidak ada yang berubah dengan hadirnya bus Transjakarta.
Saat program busway ini diluncurkan, yang terbersit dalam benak saya adalah bagaimana mereka bisa menjaga dan merawat bus, SDM dan pengelolaannya? Ternyata pada tataran implementasi dari konsep yang bagus tidak dengan mudah dilakukan. Tugas berat buat pemerintah DKI Jakarta untuk bisa terus menjadikan bus Transjakarta sebagai moda primadona Indonesia saat ini.
Seperti yang saya bilang kepada seorang bule saat naik bus Transjakarta yang bertanya tentang bus Transjakarta. ”Yes, this is the best MRT in our country we have!” jelas saya. Dia hanya tersenyum-senyum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar