Cerita dari Cineplex Gajah Mada 21
Membaca surat kiriman pak Lim Hendra di Jakarta, yang dimuat pada rubrik Redaksi Yth, Harian Kompas, Sabtu 3 Januari 2008, saya semakin sadar begitu ampuhnya ruang media bagi penyampaian uneg-uneg, kritikan, terkadang pujian yang ditujukan kepada mereka yang bergerak di bidang jasa pelayanan, baik publik maupun pribadi.
Dalam suratnya yang berjudul ‘Pemutaran Film di Bioskop Terhenti’, pak Lim Hendra seakan menjadi perwakilan para penonton yang pastinya merasakan hal yang sama, yakni kemarahan, kekecewaan dan juga ketidakpuasan.
Cerita singkatnya begini, Selasa malam 25 November 2008, pak Lim dan istri menonton film 'Tropic Thunder' di Gajah Mada 21. Kata pak Lim, bioskop ini adalah tempat favoritnya karena dekat dengan rumah dan selama ini kualitas film yang ditayangkan tergolong baik. Film dimulai pukul 20.55 WIB, lalu sekitar pukul 22.20 WIB film tiba-tiba mati. Padahal sesuai dengan durasi film yang ada, sisa film yang ‘masih hilang’ tinggal 15 menit.
Di layar hanya dituliskan permohonan maaf yang dilanjutkan dengan alunan musik latar. Setelah menunggu 20 menit, tidak ada perkembangan yang bagus. Pihak manajemen mengatakan kepada pak Lim bahwa kurir film yang bersangkutan mengalami kecelakaan dan sedang disusul oleh kurir yang lain. Akhirnya pada pukul 23.10 WIB, gulungan film sisa sampai di tempat. Pak Lim dan penonton lainnyayang masih bertahan harus menunggu selama 50 menit.
Meski ada tuntutan kompensasi atau paling tidak pengembalian uang oleh penonton, pihak manajemen hanya bisa meminta maaf dan meminta pengertian dari penonton yang sudah kadung sangat kecewa. Berdasarkan suratnya, pak Lim pribadi hanya bisa memaklumi kondisi yang ada. Namun ia menyarankan seharusnya pihak Cineplex 21 harus lebih siap mengantisipasi keadaan, baik penyampaian informasi maupun penggantian kompensasi.
Saya melihat bahwa surat terbuka dari pak Lim adalah pukulan telak buat manajemen Cineplex 21 (paling tidak yang di Gajah Mada) yang tidak mau berkorban dengan mengeluarkan cost kompensasi kepada penonton. Apapun alasannya, Cineplex telah melakukan tindakan yang merugikan konsumen. Apa mungkin bagi Cineplex 21, lebih baik skandal ini termuat di koran dibanding rugi sekian rupiah sebagai ‘pelipur lara’ penonton? Dengan adanya surat ini, citra tidak baik sudah melekat padanya.
Itu baru dari pak Lim, bisa saja penonton yang lain melakukan hal yang sama di media lain. Belum lagi dengan black marketing dari mulut ke mulut yang menyebar di masyarakat (bisa jadi ke luar negeri karena penontonya ada orang asingnya). Termasuk dari saya yang bukan salah satu penonton, tapi ikut merasa simpati.
Memang uang bukan segalanya dan tidak sepadan dengan kekecewaan penonton yang sudah rugi waktu dan tenaga. Setidaknya ada niat baik pihak Cineplex sebagai bagian dari rasa tanggung jawab memberikan pelayanan yang prima. Terkadang bagi sebagian orang, termasuk pak Lim, permintaan maaf sudah cukup (meski akhirnya dia mengkritik Cineplex melalui media). Namun kita tidak tahu bagaimana yang dirasakan oleh penonton lainnya.
Sayang, merujuk pada pengakuan pak Lim, bioskop tersebut yang tadinya favorit, bisa saja kelasnya jatuh. Cerita dari pak Lim tadi adalah contoh kecil dari banyaknya kesalahan dan kelalaian pihak penyedia jasa kepada konsumennya. Berat memang menjadi penyedia jasa yang dituntut untuk terus memuaskan pengguna jasanya. Tidak ada kata lain, kunci dari kelanggengan usaha jasa adalah mutu pelayanan yang baik dan respon positif yang tepat dan cepat bagi konsumen pada setiap terjadinya kendala.
Membaca surat kiriman pak Lim Hendra di Jakarta, yang dimuat pada rubrik Redaksi Yth, Harian Kompas, Sabtu 3 Januari 2008, saya semakin sadar begitu ampuhnya ruang media bagi penyampaian uneg-uneg, kritikan, terkadang pujian yang ditujukan kepada mereka yang bergerak di bidang jasa pelayanan, baik publik maupun pribadi.
Dalam suratnya yang berjudul ‘Pemutaran Film di Bioskop Terhenti’, pak Lim Hendra seakan menjadi perwakilan para penonton yang pastinya merasakan hal yang sama, yakni kemarahan, kekecewaan dan juga ketidakpuasan.
Cerita singkatnya begini, Selasa malam 25 November 2008, pak Lim dan istri menonton film 'Tropic Thunder' di Gajah Mada 21. Kata pak Lim, bioskop ini adalah tempat favoritnya karena dekat dengan rumah dan selama ini kualitas film yang ditayangkan tergolong baik. Film dimulai pukul 20.55 WIB, lalu sekitar pukul 22.20 WIB film tiba-tiba mati. Padahal sesuai dengan durasi film yang ada, sisa film yang ‘masih hilang’ tinggal 15 menit.
Di layar hanya dituliskan permohonan maaf yang dilanjutkan dengan alunan musik latar. Setelah menunggu 20 menit, tidak ada perkembangan yang bagus. Pihak manajemen mengatakan kepada pak Lim bahwa kurir film yang bersangkutan mengalami kecelakaan dan sedang disusul oleh kurir yang lain. Akhirnya pada pukul 23.10 WIB, gulungan film sisa sampai di tempat. Pak Lim dan penonton lainnyayang masih bertahan harus menunggu selama 50 menit.
Meski ada tuntutan kompensasi atau paling tidak pengembalian uang oleh penonton, pihak manajemen hanya bisa meminta maaf dan meminta pengertian dari penonton yang sudah kadung sangat kecewa. Berdasarkan suratnya, pak Lim pribadi hanya bisa memaklumi kondisi yang ada. Namun ia menyarankan seharusnya pihak Cineplex 21 harus lebih siap mengantisipasi keadaan, baik penyampaian informasi maupun penggantian kompensasi.
Saya melihat bahwa surat terbuka dari pak Lim adalah pukulan telak buat manajemen Cineplex 21 (paling tidak yang di Gajah Mada) yang tidak mau berkorban dengan mengeluarkan cost kompensasi kepada penonton. Apapun alasannya, Cineplex telah melakukan tindakan yang merugikan konsumen. Apa mungkin bagi Cineplex 21, lebih baik skandal ini termuat di koran dibanding rugi sekian rupiah sebagai ‘pelipur lara’ penonton? Dengan adanya surat ini, citra tidak baik sudah melekat padanya.
Itu baru dari pak Lim, bisa saja penonton yang lain melakukan hal yang sama di media lain. Belum lagi dengan black marketing dari mulut ke mulut yang menyebar di masyarakat (bisa jadi ke luar negeri karena penontonya ada orang asingnya). Termasuk dari saya yang bukan salah satu penonton, tapi ikut merasa simpati.
Memang uang bukan segalanya dan tidak sepadan dengan kekecewaan penonton yang sudah rugi waktu dan tenaga. Setidaknya ada niat baik pihak Cineplex sebagai bagian dari rasa tanggung jawab memberikan pelayanan yang prima. Terkadang bagi sebagian orang, termasuk pak Lim, permintaan maaf sudah cukup (meski akhirnya dia mengkritik Cineplex melalui media). Namun kita tidak tahu bagaimana yang dirasakan oleh penonton lainnya.
Sayang, merujuk pada pengakuan pak Lim, bioskop tersebut yang tadinya favorit, bisa saja kelasnya jatuh. Cerita dari pak Lim tadi adalah contoh kecil dari banyaknya kesalahan dan kelalaian pihak penyedia jasa kepada konsumennya. Berat memang menjadi penyedia jasa yang dituntut untuk terus memuaskan pengguna jasanya. Tidak ada kata lain, kunci dari kelanggengan usaha jasa adalah mutu pelayanan yang baik dan respon positif yang tepat dan cepat bagi konsumen pada setiap terjadinya kendala.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar