Mahasiswa Seharusnya Malu
Saat mahasiswa mendapat status sebagai penegak demokrasi, serentak semua yang merasa mahasiswa merasa sebagai pahlawan. Namun ketika mahasiswa berbuat anarkis dan kekanak-kanakan, tidak semua mahasiswa mau dipersalahkan.
Kembali untuk sekian kalinya mahasiswa Indonesia memperlihatkan secara gratis sisi kebobrokan dan kebodohan ala mahasiswa dengan melakukan tawuran antar kampus. Tawuran antara sekelompok mahasiswa UKI dan YAI di Jakarta, Selasa (14 Oktober lalu) menguatkan stigma mahasiswa kita yang memang apa adanya.
Jelas dengan peristiwa ini yang dirugikan adalah masyarakat umum yang katanya sering dibela oleh mahasiswa itu sendiri. Mahasiswa seolah elemen ‘suci’ yang untouchable dan karena jasanya tidak bisa dikitrik. Siapa saja bisa menyandang status mahasiswa namun seharusnya dengan status yang melekat padanya maka mahasiswa harus benar-benar menjadi siswa yang tinggi sisi intelektual dan martabatnya.
Kita benar-benar diperlihatkan realita wajah mahasiswa penyandang gelar agen perubahan sosial dan politik yang idealnya berlatarbelakang kekuatan moral dan intelektual. Lewat layar kaca saja, kita bisa melihat tidak sedikit pun citra mahasiswa positif ada dalam insiden memalukan itu.
Tadi pagi, saat melihat acara talkshow di salah satu TV, seorang mahasiswa mengatakan bahwa sebenarnya sebab tawuran berawal dari hal-hal sepele. Namun semua karena faktor adanya peran provokator menjadi penyebab pemicu timbulnya konflik yang lebih besar.
Secara tidak langsung, mahasiswa sudah memakai cara-cara Orde Baru yang selalu mencari kambing hitam. Jika memang benar adanya, mahasiswa seharusnya malu karena masih bisa diadu domba. Mereka lebih mengedepankan cara-cara preman alias memakai otot ketimbang cara-cara yang lebih elegan.
Saat mahasiswa mendapat status sebagai penegak demokrasi, serentak semua yang merasa mahasiswa merasa sebagai pahlawan. Namun ketika mahasiswa berbuat anarkis dan kekanak-kanakan, tidak semua mahasiswa mau dipersalahkan.
Kembali untuk sekian kalinya mahasiswa Indonesia memperlihatkan secara gratis sisi kebobrokan dan kebodohan ala mahasiswa dengan melakukan tawuran antar kampus. Tawuran antara sekelompok mahasiswa UKI dan YAI di Jakarta, Selasa (14 Oktober lalu) menguatkan stigma mahasiswa kita yang memang apa adanya.
Jelas dengan peristiwa ini yang dirugikan adalah masyarakat umum yang katanya sering dibela oleh mahasiswa itu sendiri. Mahasiswa seolah elemen ‘suci’ yang untouchable dan karena jasanya tidak bisa dikitrik. Siapa saja bisa menyandang status mahasiswa namun seharusnya dengan status yang melekat padanya maka mahasiswa harus benar-benar menjadi siswa yang tinggi sisi intelektual dan martabatnya.
Kita benar-benar diperlihatkan realita wajah mahasiswa penyandang gelar agen perubahan sosial dan politik yang idealnya berlatarbelakang kekuatan moral dan intelektual. Lewat layar kaca saja, kita bisa melihat tidak sedikit pun citra mahasiswa positif ada dalam insiden memalukan itu.
Tadi pagi, saat melihat acara talkshow di salah satu TV, seorang mahasiswa mengatakan bahwa sebenarnya sebab tawuran berawal dari hal-hal sepele. Namun semua karena faktor adanya peran provokator menjadi penyebab pemicu timbulnya konflik yang lebih besar.
Secara tidak langsung, mahasiswa sudah memakai cara-cara Orde Baru yang selalu mencari kambing hitam. Jika memang benar adanya, mahasiswa seharusnya malu karena masih bisa diadu domba. Mereka lebih mengedepankan cara-cara preman alias memakai otot ketimbang cara-cara yang lebih elegan.
Tidak ada alasan dan perlakuan khusus buat pelaku perbuatan anarkis, terlebih jika yang melakukan itu adalah mahasiswa. Mahasiswa adalah warga negara juga yang punya hak dan kewajiban yang sama. Usut tuntas pelalu keonaran antar kampus. Setelah itu diperlukan langkah rekonsialiasi di antara kampus-kampus yang bertikai. Sekal lagi, mahasiswa seharusnya malu masih memakai cara-cara anarkis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar