Senyum Orang Indonesia Mahal?
Senyuman adalah body language universal yang seharusnya bertendensi positif. Dengan senyuman, orang memberikan sinyal welcome dan tidak berkonfrontasi. Apalagi jika dilakukan dengan tulus. Meskipun bisa saja senyum dipakai sebagai topeng belaka yang membentengi sisi negatif seseorang yang menggunakannya. Bagi saya, dalam kondisi positif, senyum memiliki peran dan kekuatan yang besar dalam komunikasi sehari-hari. Dengan senyum, kita bisa memberikan kesan baik dan hangat terhadap orang yang melihat kita.
Sejak kecil saya sering mendengar kesan tentang orang Indonesia yang terkenal ramah. Keramahan orang Indonesia terwujud dari ungkapan perkataan yang halus serta lekukan kecil di mulut yang disebut dengan senyuman. Banyak hal-hal kecil yang saya rasakan maupun amati menjadi sangat berarti dengan kehadiran senyuman. Suasana bisa menjadi nyaman karena komunikasi antar pribadi dimulai dengan senyuman (yang mungkin cukup kecil saja).
Tidak ada alasan mendasar yang menghalangi seseorang untuk bisa tersenyum. Semua berpulang pada individu yang bersangkutan untuk melakukan ‘pekerjaan’ kecil yang tidak memakan biaya itu. Dengan melihat besarnya kekuatan dan begitu murahnya sebuah senyuman, saya merasa bahwa tidak ada yang salah bila kita memulai hari atau memulai segala sesuatu dengan senyuman. Banyak dari orang memiliki kemurahan untuk hanya tersenyum, meski dia tidak mengenal siapa orang yang ia berikan senyum.
Yang terjadi dalam rutinitas sehari-hari justru adalah sebuah pemandangan yang kadang membuat saya tersenyum. Banyak saya jumpai orang-orang (sibuk) yang tidak saling kenal, sudah tidak bisa tersenyum saat berinteraksi dengan sesama. Orang yang posisi jabatannya lebih tinggi, enggan untuk melempar senyuman terhadap bawahannya.
Yang lebih membuat saya mengelus dada adalah ketika melihat kenyataan bahwa seorang kasir sebuah tempat perbelanjaan, sama sekali tidak memberikan senyum kepada costumer-nya. Padahal dalam jarak hanya sekitar 2 meter, terlihat gambar wanita sedang tersenyum di banner yang merupakan motto pelayanan ramah dan terbaik dari tempat perbelanjaan itu. Kejadian yang lebih hebat lagi adalah saat saya berkunjung ke sebuah factory outlet (FO), di mana pada sebuat sudut terpampang selembar kertas yang berisikan filosofi dari Mahatma Gandhi tentang pentingnya bersikap ramah terhadap konsumen. Namun yang terjadi adalah sikap acuh tak acuh dan wajah kurang bersahabat dari SPG FO tersebut. Senyuman tampaknya tidak mau hinggap diwajahnya.
Banyak juga dari pejabat hingga petugas sekuriti yang mahal sekali untuk melempar senyum dan bersikap ramah. Mungkin mereka berpikir bahwa tidak ada gunanya tersenyum kepada orang tak dikenal. Mubazir alias sia-sia saja. Mungkin bisa saja benar. Tapi apakah tidak ada salahnya juga tersenyum karena tersenyum itu gratis. Terlebih tersenyum adalah ibadah yang bisa mendatangkan pahala.
Sekali lagi, tersenyum berlebihan juga tidak baik. Seperlunya saja dan pada tempatnya. Jika memang kita berada pada situasi yang layak untuk tersenyum, sangat lumrah untuk melakukannya. Apalagi jika tersenyum adalah suatu keharusan karena profesi yang melekat pada kita, tersenyum adalah harga mati. Mudah-mudahan tersenyum tidak dijadikan hiasan musim karena sudah langka. Mulailah kita tersenyum untuk semua orang. Untuk kesejukan dunia.
Senyuman adalah body language universal yang seharusnya bertendensi positif. Dengan senyuman, orang memberikan sinyal welcome dan tidak berkonfrontasi. Apalagi jika dilakukan dengan tulus. Meskipun bisa saja senyum dipakai sebagai topeng belaka yang membentengi sisi negatif seseorang yang menggunakannya. Bagi saya, dalam kondisi positif, senyum memiliki peran dan kekuatan yang besar dalam komunikasi sehari-hari. Dengan senyum, kita bisa memberikan kesan baik dan hangat terhadap orang yang melihat kita.
Sejak kecil saya sering mendengar kesan tentang orang Indonesia yang terkenal ramah. Keramahan orang Indonesia terwujud dari ungkapan perkataan yang halus serta lekukan kecil di mulut yang disebut dengan senyuman. Banyak hal-hal kecil yang saya rasakan maupun amati menjadi sangat berarti dengan kehadiran senyuman. Suasana bisa menjadi nyaman karena komunikasi antar pribadi dimulai dengan senyuman (yang mungkin cukup kecil saja).
Tidak ada alasan mendasar yang menghalangi seseorang untuk bisa tersenyum. Semua berpulang pada individu yang bersangkutan untuk melakukan ‘pekerjaan’ kecil yang tidak memakan biaya itu. Dengan melihat besarnya kekuatan dan begitu murahnya sebuah senyuman, saya merasa bahwa tidak ada yang salah bila kita memulai hari atau memulai segala sesuatu dengan senyuman. Banyak dari orang memiliki kemurahan untuk hanya tersenyum, meski dia tidak mengenal siapa orang yang ia berikan senyum.
Yang terjadi dalam rutinitas sehari-hari justru adalah sebuah pemandangan yang kadang membuat saya tersenyum. Banyak saya jumpai orang-orang (sibuk) yang tidak saling kenal, sudah tidak bisa tersenyum saat berinteraksi dengan sesama. Orang yang posisi jabatannya lebih tinggi, enggan untuk melempar senyuman terhadap bawahannya.
Yang lebih membuat saya mengelus dada adalah ketika melihat kenyataan bahwa seorang kasir sebuah tempat perbelanjaan, sama sekali tidak memberikan senyum kepada costumer-nya. Padahal dalam jarak hanya sekitar 2 meter, terlihat gambar wanita sedang tersenyum di banner yang merupakan motto pelayanan ramah dan terbaik dari tempat perbelanjaan itu. Kejadian yang lebih hebat lagi adalah saat saya berkunjung ke sebuah factory outlet (FO), di mana pada sebuat sudut terpampang selembar kertas yang berisikan filosofi dari Mahatma Gandhi tentang pentingnya bersikap ramah terhadap konsumen. Namun yang terjadi adalah sikap acuh tak acuh dan wajah kurang bersahabat dari SPG FO tersebut. Senyuman tampaknya tidak mau hinggap diwajahnya.
Banyak juga dari pejabat hingga petugas sekuriti yang mahal sekali untuk melempar senyum dan bersikap ramah. Mungkin mereka berpikir bahwa tidak ada gunanya tersenyum kepada orang tak dikenal. Mubazir alias sia-sia saja. Mungkin bisa saja benar. Tapi apakah tidak ada salahnya juga tersenyum karena tersenyum itu gratis. Terlebih tersenyum adalah ibadah yang bisa mendatangkan pahala.
Sekali lagi, tersenyum berlebihan juga tidak baik. Seperlunya saja dan pada tempatnya. Jika memang kita berada pada situasi yang layak untuk tersenyum, sangat lumrah untuk melakukannya. Apalagi jika tersenyum adalah suatu keharusan karena profesi yang melekat pada kita, tersenyum adalah harga mati. Mudah-mudahan tersenyum tidak dijadikan hiasan musim karena sudah langka. Mulailah kita tersenyum untuk semua orang. Untuk kesejukan dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar