Lima Pemain Asing Terlalu Banyak
Meskipun belum resmi, namun niat PSSI untuk tetap mempertahankan kuota maksimal , kepemilikan dan penggunaannya di lapangan, sebanyak 5 (lima) orang bisa jadi tetap akan terwujud nantinya di Liga Super 2008. Sama seperti pada Liga Indonesia 2007, tiap klub penghuni Divisi Utama, berhak memiliki 5 pemain asing dan juga dapat memainkannya semua sekaligus dalam sebuah pertandingan. Saya cuma bisa berharap agar seharusnya PSSI bisa lebih bijaksana dalam mengambil keputusan ini. Jatah maksimal tersebut menggunakan pemain asing saya nilai sudah terlalu banyak.
Kita mungkin perlu belajar dari Japan League (J-League) pada saat mereka memulai lembaran baru kompetisi profesional awal 90-an. Karena butuh transfer ilmu dan pengalaman, maka pemain-pemain yang didatangkan adalah pemain yang punya pengalaman tinggi meski usia sudah lewat, seperti; Zico, dan lain-lain. Paling tidak, pemain asing itu bisa memberikan contoh yang positif bagi talenta lokal. Jepan pun sudah menuai hasilnya.
Awalnya, kehadiran pemain asing di Liga Indonesia diharapkan bisa menjadi sarana transfer atau paling tidak tukar pengalaman dengan pemain domestik. Efek lain yang diharapkan dengan pemain impor itu adalah sebagai magnet datangnya penonton ke stadion. Sedikit menengok ke belakang, sebelum dileburnya perserikatan dan Galatama menjadi satu kompetisi, Galatama terasa jauh dari hingar bingar penonton.
Namun yang terjadi sepanjang 13 tahun usia Liga Indonesia, pemain asing justru leih banyak memberikan rapor merah bagi kompetisi kita. Bukannya berarti tidak ada pemain asing yang sukses dengan misi sepakbola kita itu. Kita bisa melihat, banyak pemain asing yang kualitasnya tidak di atas rata-rata pemain kita. Hanya menang bule saja dan tidak Indonesia banget. Namun kemampuan yang diberikan tidak sesuai dengan materi yang sudah dikeluarkan klub.
Terlebih lagi, banyak pemain asing yang tidak bisa menjadi role model bagi pemain kita. Sikap dan perbuatannya di lapangan sering merugikan klub (bahkan sepakbola nasional). Mereka harusnya berkaca dari sosok seorang Bambang Pamungkas (Bepe), pemain lokal, yang memiliki kapabilitas, integritas, intelektual dan etika yang baik. Itu baru Bepe, masih banyak lagi pemain lokal yang lebih bermoral dan intelek daripada pemain asing. Evgeny Khamaruk adalah salah satu contoh role model yang gagal di kancah sepakbola kita.
Dampak lain yang terjadi dengan adanya jatah 5 pemain asing di lapangan adalah berkurangnya kesempatan pemain lokal untuk mengembangkan bakat dan jam terbang di kompetisi. Dengan adanya 5 pemain asing di lapangan, berarti hampir setengah dari jumlah keseluruhan kesebelasan adalah non pemain lokal. Jangan sampai kita senasib dengan Inggris yang kekeringan stok pemain nasionalnya, lantaran Premiere League didominasi legiun asing.
OK, kita sudah melangkah jauh lebih dari satu dekade. Hemat saya, meskipun demikian kita tetap harus mengevaluasi jumlah dan keberadaan pemain asing di kompetisi kita. Kualitas tetap menjadi perhatian utama. Pada poin ini, para agen mempunyai tanggung jawab yang besar dalam menjual pemainnya. PSSI dan klub pun juga lebih bijak dalam pembelian pemain asing.
Menghadapi Liga Super mendatang, sebaiknya klub bisa berpikir untuk tidak menghamburkan uang dan akhirnya lari ke luar negeri hanya untuk mendatangkan dan memainkan pemain asing. Buat PSSI, perlu dikaji ulang kuota 5 pemain tersebut. Alangkah baiknya jika kita lebih memperhatikan kualitas daripada kuantitas. Lebih baik hanya 3 pemain asing, tapi memang benar-benar yang mumpuni sesuai dengan anggaran klub. Saat liga bergulir pun PSSI harus tegas apabila ditemukan tindakan kontraproduktif para tenaga kerja luar negeri itu.
Sekali lagi, semua demi kemajuan sepakbola Indonesia bukan kepentingan sesaat pihak-pihak tertentu yang ketiban rezeki karena begitu banyaknya orang asing yang bergentayangan di lapangan sepakbola. Semoga sepakbola Indonesia menjadi enak ditonton dan nyaman.
Meskipun belum resmi, namun niat PSSI untuk tetap mempertahankan kuota maksimal , kepemilikan dan penggunaannya di lapangan, sebanyak 5 (lima) orang bisa jadi tetap akan terwujud nantinya di Liga Super 2008. Sama seperti pada Liga Indonesia 2007, tiap klub penghuni Divisi Utama, berhak memiliki 5 pemain asing dan juga dapat memainkannya semua sekaligus dalam sebuah pertandingan. Saya cuma bisa berharap agar seharusnya PSSI bisa lebih bijaksana dalam mengambil keputusan ini. Jatah maksimal tersebut menggunakan pemain asing saya nilai sudah terlalu banyak.
Kita mungkin perlu belajar dari Japan League (J-League) pada saat mereka memulai lembaran baru kompetisi profesional awal 90-an. Karena butuh transfer ilmu dan pengalaman, maka pemain-pemain yang didatangkan adalah pemain yang punya pengalaman tinggi meski usia sudah lewat, seperti; Zico, dan lain-lain. Paling tidak, pemain asing itu bisa memberikan contoh yang positif bagi talenta lokal. Jepan pun sudah menuai hasilnya.
Awalnya, kehadiran pemain asing di Liga Indonesia diharapkan bisa menjadi sarana transfer atau paling tidak tukar pengalaman dengan pemain domestik. Efek lain yang diharapkan dengan pemain impor itu adalah sebagai magnet datangnya penonton ke stadion. Sedikit menengok ke belakang, sebelum dileburnya perserikatan dan Galatama menjadi satu kompetisi, Galatama terasa jauh dari hingar bingar penonton.
Namun yang terjadi sepanjang 13 tahun usia Liga Indonesia, pemain asing justru leih banyak memberikan rapor merah bagi kompetisi kita. Bukannya berarti tidak ada pemain asing yang sukses dengan misi sepakbola kita itu. Kita bisa melihat, banyak pemain asing yang kualitasnya tidak di atas rata-rata pemain kita. Hanya menang bule saja dan tidak Indonesia banget. Namun kemampuan yang diberikan tidak sesuai dengan materi yang sudah dikeluarkan klub.
Terlebih lagi, banyak pemain asing yang tidak bisa menjadi role model bagi pemain kita. Sikap dan perbuatannya di lapangan sering merugikan klub (bahkan sepakbola nasional). Mereka harusnya berkaca dari sosok seorang Bambang Pamungkas (Bepe), pemain lokal, yang memiliki kapabilitas, integritas, intelektual dan etika yang baik. Itu baru Bepe, masih banyak lagi pemain lokal yang lebih bermoral dan intelek daripada pemain asing. Evgeny Khamaruk adalah salah satu contoh role model yang gagal di kancah sepakbola kita.
Dampak lain yang terjadi dengan adanya jatah 5 pemain asing di lapangan adalah berkurangnya kesempatan pemain lokal untuk mengembangkan bakat dan jam terbang di kompetisi. Dengan adanya 5 pemain asing di lapangan, berarti hampir setengah dari jumlah keseluruhan kesebelasan adalah non pemain lokal. Jangan sampai kita senasib dengan Inggris yang kekeringan stok pemain nasionalnya, lantaran Premiere League didominasi legiun asing.
OK, kita sudah melangkah jauh lebih dari satu dekade. Hemat saya, meskipun demikian kita tetap harus mengevaluasi jumlah dan keberadaan pemain asing di kompetisi kita. Kualitas tetap menjadi perhatian utama. Pada poin ini, para agen mempunyai tanggung jawab yang besar dalam menjual pemainnya. PSSI dan klub pun juga lebih bijak dalam pembelian pemain asing.
Menghadapi Liga Super mendatang, sebaiknya klub bisa berpikir untuk tidak menghamburkan uang dan akhirnya lari ke luar negeri hanya untuk mendatangkan dan memainkan pemain asing. Buat PSSI, perlu dikaji ulang kuota 5 pemain tersebut. Alangkah baiknya jika kita lebih memperhatikan kualitas daripada kuantitas. Lebih baik hanya 3 pemain asing, tapi memang benar-benar yang mumpuni sesuai dengan anggaran klub. Saat liga bergulir pun PSSI harus tegas apabila ditemukan tindakan kontraproduktif para tenaga kerja luar negeri itu.
Sekali lagi, semua demi kemajuan sepakbola Indonesia bukan kepentingan sesaat pihak-pihak tertentu yang ketiban rezeki karena begitu banyaknya orang asing yang bergentayangan di lapangan sepakbola. Semoga sepakbola Indonesia menjadi enak ditonton dan nyaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar